Teguh Dartanto: Kelompok Pendapatan Menengah Atas, Tantangan Implikasi Kebijakan

Teguh Dartanto: Kelompok Pendapatan Menengah Atas, Tantangan Implikasi Kebijakan

Delli Asterina ~ Humas FEB UI

DEPOK – Senin (06/7/2020), Teguh Dartanto Ph.D Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, merilis tulisannya di Harian Media Indonesia, yang berjudul “Kelompok Pendapatan Menengah Atas, Tantangan Implikasi Kebijakan”. Berikut artikelnya.

Setiap pencapaian dan berita gembira perlu dirayakan dengan saksama, apalagi di tengah kondisi suram perekonomian masa pandemi covid-19. Sejalan dengan musim kenaikan kelas, Indonesia juga mendapatkan kado istimewa dari Bank Dunia pada 1 Juli 2020 yang menyatakan Indonesia naik kelas menjadi negara kelompok pendapatan kelas menengah atas (upper middle income countries/UMIC). Indonesia membutuhkan 18 tahun sejak 2002 untuk naik kelas dari kelompok negara pendapatan kelas menengah bawah (lower middle income countries/LMIC), menuju kelompok negara pendapatan kelas menengah atas (UMIC).

Bank Dunia menggunakan pendapatan nasional (gross national income/GNI) untuk mengklasifikasikan negara-negara anggota ke dalam empat kategori utama, yakni pendapatan bawah (low income, US$12.535).  Terdapat tujuh negara yang mampu naik kelas pada 2020, yaitu Benin, Indonesia, Mauritius, Nauru, Nepal, Rumania, dan Tanzania. Dengan pendapatan US$4.050, Indonesia hanya berada sedikit di atas batas bawah dari kelompok pendapatan kelas menengah atas. Kenaikan kelas ini memberikan secercah harapan bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara pendapatan kelas menengah (middle income trap). Setiap kenaikan kelas pasti disertai berbagai macam tantangan dan persiapan yang harus dilakukan, agar Indonesia masih bisa bertahan dan melaju kencang untuk masuk ke kelompok negara berpendapatan atas. Terdapat lima hal penting yang perlu menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan. Pertama, perhitungan GNI menggunakan data 2019 yang belum memasukkan dampak covid-19 dalam perekonomian sehingga perhitungan GNI 2020 akan mengubah klasifikasi negara. Posisi Indonesia yang hanya sedikit di atas batas bawah, maka kemungkinan besar pada 2020 Indonesia akan terlempar kembali dalam kelompok pendapatan menengah bawah karena perlambatan ekonomi Indonesia selama covid-19. Pengalaman dari Aljazair dan Sri Lanka yang turun dari kelompok pendapatan menengah atas bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia sehingga Indonesia tidak perlu jumawa dengan capaian yang ada karena Indonesia sangat rentan sekali untuk mengalami nasib serupa dengan Sri Lanka. Kedua, belajar dari pengalaman Indonesia naik kelas dari LMIC ke UMIC yang membutuhkan waktu 18 tahun, maka dengan hitungan sangat sederhana Indonesia akan membutuhkan waktu setengah abad untuk bisa mencapai kelompok negara pendapatan atas. Sebuah jangka waktu yang begitu lama dan jauh sekali dari ramalan-ramalan dari berbagai lembaga yang ada.

Kadang berbagai lembaga melakukan berbagai peramalan untuk menyenangkan pemesannya, tanpa memperhitungkan konteks Indonesia yang begitu beragam orang, pola pikir, budaya, dan geografis lingkungannya.   Investasi sumber daya manusia Daripada kita berangan-angan Indonesia masuk negara kaya pada 2045, tepat 100 tahun Indonesia merdeka, kita sebaiknya mulai bersikap realistis dalam memandang masa depan Indonesia, dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi generasi berikutnya. Generasi Z (kelahiran 1995-2010) dan Alpha (2011-sekarang) yang akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara kaya. Oleh karena itu, generasi pramilenial dan milenial harus dengan legawa untuk berpikir jauh ke depan menyiap­kan generasi Z dan Alpha sebuah lingkungan yang inklusif, dinamis, beragam, dan adil agar generasi ini dapat berkembang, kreatif, dan inovatif membawa kejayaan Indonesia. Investasi sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan adalah kunci untuk mendorong kemajuan Indonesia (Dartanto dkk, 2019). Dalam konteks negara UMIC, pendidikan bukan lagi bertumpu pada pemerataan akses pendidikan, melainkan juga sudah harus ber­gerak ke arah peningkatan akses pendidikan berkualitas. Bukan lagi mempromosikan schooling, melainkan learning. Gebrakan Kampus Merdeka oleh Mas Menteri Nadiem merupakan salah satu kebijakan yang sangat revolusioner memberikan kemerdekaan peserta didik untuk belajar bertanggung jawab, kreatif, dan inovatif dalam proses pembelajaran sehingga generasi mendatang siap menghadapi tantangan zaman. Namun, seperti kebanyakan kebijakan pemerintah, bagus secara konsep, tetapi terkendala dalam implementasi karena ketidaksiapan dan kekurangpahaman dari pelaksana pendidikan mengenai konsep kampus merdeka.

Ketiga, jebakan negara pendapatan kelas menengah ialah nyata. Berdasarkan data sejarah dunia, tidak banyak negara yang dapat naik kelas dengan mudah di kelompok pendapatan atas. Beberapa negara, salah satunya Argentina keluar-masuk kelompok pendapatan atas. Data rumah tangga Indonesia dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 1993-2014 menunjukkan, jebakan kelas menengah ialah nyata. Dartanto dkk (2019) menunjukkan 42,3% kelas menengah Indonesia tidak dapat naik kelas dalam kelompok pendapatan atas, dan sisanya kelompok kelas menengah yang sangat rentan untuk jatuh dalam kelompok pendapatan bawah. Penelitian terbaru Dartanto dkk tentang mobilitas ekonomi antargenerasi menunjukkan, sebagian besar anak-anak di Indonesia dapat dengan mudah naik kelas ke tangga ekonomi kelas menengah, tetapi sulit naik ke kelompok pendapatan atas. Kondisi ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, untuk menjadi kelompok negara kaya tidak bisa dilaksanakan dalam tempo sesingkat-singkatnya, seperti yang tertera dalam teks Proklamasi. Perlu usaha keras, berkesinambungan, dan bersifat jangka panjang dari generasi sekarang untuk meletakkan dasar pembangunan.   Mengikuti capaian pembangunan Keempat, klasifikasi Indonesia menjadi UMIC membawa implikasi yang tidak sederhana. Ukuran-ukuran kesejahte­raan seperti kemiskinan juga harus menyesuaikan dengan ukuran kesejahteraan kelompok UMIC. Jalliffe dan Prydz (2016) menunjukkan garis kemiskinan untuk kelompok UMIC ialah US$5,5/kapita/bulan (PPP) bukan lagi US$3,2/kapita/bulan (PPP). Namun, sampai saat ini, garis kemiskinan di Indonesia setara dengan US$1,85/kapita/bulan. Dartanto dan Otsubo (2013) menyatakan ukuran kesejahteraan atau kemiskinan seharusnya mengikuti perkembangan capaian pembangunan ekonomi masyarakatnya. Pada masyarakat atau negara yang masih tertinggal, ukuran kemiskinannya menggunakan ukuran kemiskinan makanan. Namun, se­iring dengan perkembangan ekonomi sebuah negara, ukuran kemiskinan memasukkan unsur nonmakanan, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumah­an. Seiring berjalannya pembangunan ekonomi, ukuran juga harus berubah mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakatnya. Angka US$1,85/kapita/bulan dirasakan sudah terlalu rendah untuk ukuran Indonesia, karena kurang mencerminkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia saat ini. Angka garis kemiskinan Indonesia yang rendah memang memberikan angka kemiskinan yang jauh lebih kecil. Namun, angka ini hanya sekadar statistik belaka yang tidak mencerminkan kehidupan nyata. Terakhir Indonesia melakukan perbaikan (update) perhitungan garis kemiskinan pada 1998 ketika Indonesia masih dalam kategori kelompok negara pendapatan rendah (LIC). Oleh karena itu, Indonesia harus berani melakukan koreksi ukuran kesejahteraan atau garis kemiskinan agar lebih sesuai dengan kelompok pendapatan kelas menengah atas. Memang angka kemiskinan akan naik jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tetapi angka ini lebih mencerminkan kondisi yang sebenarnya, dan juga sejalan dengan angka-angka yang digunakan pemerintah untuk penyaluran bantuan sosial yang menjadi angka 100 juta.   Persiapan mental dan fisik Kelima, kenaikan kelas memberikan harap­an bagi semua orang baik dari dalam maupun luar negeri. Dari sisi investasi, kenaikan kelas meningkatkan dan memperkuat kepercayaan investor dan mitra dagang terhadap Indonesia sehingga dapat menarik investor-investor baru untuk datang ke Indonesia. Di sisi lain, investor atau usaha-usaha yang bergerak di sektor padat karya akan memandang Indonesia bukan lagi tempat yang nyaman untuk berusaha karena upah buruh murah bukan lagi daya tarik negara-negara dalam kategori UMIC. Dari sisi perdagangan internasional, produk ekspor Indonesia harus bersaing lebih keras karena produk Indonesia akan semakin sedikit yang mendapatkan keringanan tarif perdagangan, seperti layaknya negara-negara pendapatan bawah. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya dapat memitigasi berbagai permasalahan investasi dan perdagangan dalam konteks kenaikan kelas ini. Dari sisi kerja sama internasional, kenaikan kelas menjadikan Indonesia dianggap mampu untuk membayar utang dengan suku bunga yang lebih tinggi sehingga akan membatasi ruang dalam mendapatkan kemudahan pinjaman dan suku bunga rendah. Kenaikan kelas akan memaksa Indonesia untuk berderma bagi negara-negara lain yang berada di bawahnya sehingga perlu ada perubahan pola pikir para pemangku kepentingan dari mental penerima menjadi mental pemberi. Kita tidak perlu terlalu bangga dan jumawa dengan capaian yang ada karena setiap kenaikan kelas membutuhkan persiapan mental dan fisik, agar kita tetap bisa bertahan dan melaju kencang menuju kenaikan kelas berikutnya.  Tanpa adanya upaya ekstra dalam menangani covid-19 dan membangun fondasi kukuh perekonomian Indonesia, mimpi Indonesia kaya dan jaya akan ambyar semuanya.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Sumber: Harian Media Indonesia