Mirza Adityaswara: Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas

0

Mirza Adityaswara: Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Jumat (3/7/2020), Mirza Adityaswara, Ekonom, Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan sekaligus ILUNI FEB UI, merilis tulisannya yang dimuat Kompas.id, Kanal Opini – Dampak Pandemi, yang berjudul “Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas”. Berikut tulisannya.

“Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas”

Pemulihan ekonomi pada semester II-2020 sangat tergantung apakah Indonesia bisa terhindar dari risiko penularan Covid-19 gelombang kedua. Maka dari itu, perkiraan pertumbuhan ekonomi sangat bervariasi. Bank Indonesia memproyeksikan, proses pemulihan ekonomi mulai menguat pada triwulan III-2020, seiring relaksasi pembatasan sosial berskala besar sejak pertengahan Juni 2020 dan stimulus kebijakan yang diluncurkan.

Pemerintah memperkirakan, pertumbuhan di keseluruhan tahun 2020 berkisar dari minus 0,4 persen hingga positif 2,3 persen, tetapi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan, penurunan ekonomi Indonesia menjadi antara minus 2,8 persen dan minus 3,9 persen. Maka dari itu, pemerintah berusaha mempercepat penyaluran stimulus agar kontraksi ekonomi tidak terlalu dalam.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbaru, Global Financial Stability Update, mengungkapkan, harga aset di pasar keuangan telah pulih pada bulan Mei-Juni disebabkan oleh optimisme efek positif pelonggaran moneter dan paket bantuan fiskal. Namun, kondisi sektor riil masih sulit. Penurunan drastis aktivitas ekonomi berdampak pada kualitas kredit perbankan. Sejumlah debitor mengalami penurunan penjualan. Contohnya, penjualan mobil tahun ini di Indonesia jatuh signifikan, dari sekitar 80.000 unit pada Januari menjadi hanya sekitar 3.500 unit pada Mei. Butuh waktu bagi sektor riil untuk pulih karena debitor perlu restrukturisasi utang.

Potensi restrukturisasi kredit

Walaupun suku bunga moneter sudah diturunkan signifikan, debitor dengan rasio utang moderat pun akan kesulitan jika penjualan turun drastis. Akhirnya, daripada bank tak menerima pendapatan sama sekali, bankir terpaksa melakukan restrukturisasi kredit. Akan tetapi, kekuatan bank untuk menanggung beban restrukturisasi kredit juga ada batasnya. Kerugian yang terlalu besar justru akan menurunkan kemampuan perbankan menopang pemulihan ekonomi. Menjaga keseimbangan antara menolong debitor dan memberi napas ke perbankan jadi fokus bagi regulator sektor keuangan di masa krisis Covid-19 saat ini.

Awal April, Bank Sentral AS mengimbau perbankan agar memberi keringanan pembayaran kredit, bersedia menyalurkan kredit baru, serta memastikan bahwa pengawas perbankan juga akomodatif. IMF menyarankan pelonggaran sementara aturan permodalan bank (counter cyclical buffer) dan aturan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR). Namun, otoritas perbankan Amerika mengingatkan, restrukturisasi kredit harus dilakukan dengan hati-hati dan jangan terjadi moral hazard.

IMF dalam kajiannya, Banking Sector Regulatory and Supervisory Response to Deal with Coronovirus Impact, juga menekankan, restrukturisasi harus dilakukan secara hati-hati dan transparan. Kalaupun pencadangan kredit bermasalah belum dilakukan, pengawas harus mempunyai informasi yang akurat mengenai mana debitor yang utangnya sudah bermasalah sebelum pandemi dan mana debitor yang sebenarnya tidak mampu bayar, tetapi dicatat sebagai kredit lancar karena sudah dilakukan restrukturisasi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Maret lalu menerbitkan POJK Nomor 11 Tahun 2020, yaitu pelonggaran aturan restrukturisasi kredit di masa Covid-19. Pelonggaran bersifat sementara sampai akhir Maret 2021. Kredit yang memenuhi syarat restrukturisasi dapat langsung dikategorikan kredit lancar, tak perlu membuat biaya pencadangan kredit bermasalah.

Namun, menurut OJK, bank tetap harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Dari angka yang diumumkan OJK, terlihat cukup signifikan kredit yang berpotensi direstrukturisasi.

Pada 27 Mei, OJK menyebutkan, potensi restrukturisasi kredit mencapai Rp1.308 triliun. Ini setara 23 persen total kredit, padahal sebelum pandemi, kredit bermasalah di Indonesia hanya 2,7 persen. Dari jumlah ini, kredit UMKM yang berpotensi direstrukturisasi Rp552 triliun atau 52 persen dari total kredit UMKM.

Sebelum pandemi, kredit UMKM yang bermasalah hanya sekitar 4 persen. Itulah mengapa, pemerintah meluncurkan program subsidi bunga untuk membantu restrukturisasi debitor UMKM. Semoga setelah ada pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), UMKM bisa mulai pulih dan segera memperoleh program subsidi bunga.

Perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang tinggi, sekitar 22 persen. Sesuai pedoman regulator internasional, OJK memberikan kelonggaran terkait aturan komponen permodalan bank. Aturan ”2,5 persen capital conservation buffer” ditunda pemenuhannya ke Maret 2021.

Akan tetapi, walaupun ada pelonggaran aturan, beberapa bank yang konservatif memilih strategi berhati-hati dengan tetap menyisihkan biaya kredit bermasalah karena mungkin saja pada Maret 2021 ada kredit yang direstrukturisasi, tetapi kembali bermasalah. Bank yang konservatif akan mencatat pendapatan bunga kredit restrukturisasi berdasarkan cash basis, bukan accrual basis. Bank yang konservatif memilih tahun ini laba kecil, tetapi ”riil” daripada laba terlihat besar, tetapi berisiko tahun depan harus membuat biaya pencadangan kredit yang jauh lebih besar.

Pelonggaran likuiditas

Berhubung restrukturisasi kredit mungkin akan mengganggu arus kas bank, OJK memberikan kelonggaran sementara terkait aturan likuiditas. Aturan minimum LCR dan NSFR (net stable funding ratio) diturunkan dari 100 persen ke 85 persen. Sebenarnya kondisi likuiditas perbankan di tingkat nasional cukup baik, tecermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) 25 persen.

Biasanya AL/DPK di bawah 10 persen, yang dianggap rentan. Likuidnya pasar uang juga tecermin dari suku bunga overnite antarbank yang berkisar di sekitar suku bunga kebijakan BI, yaitu 4,25 persen. BI membuka keran likuiditas rupiah lewat fasilitas term repo bagi bank yang butuh likuiditas, asalkan bank menyerahkan jaminan dalam bentuk surat berharga negara (SBN) atau surat berharga Bank Indonesia (SBI/SDBI). Baru-baru ini, pemerintah juga menempatkan dana Rp30 triliun di bank BUMN. Skema penempatan dana pemerintah di Bank Pembangunan Daerah juga disiapkan.

Jika likuiditas perbankan cukup secara nasional, mengapa diberitakan ada bank kesulitan likuiditas? Bank yang kesulitan likuiditas di masa krisis ekonomi biasanya bank yang memang sebelumnya sudah memiliki masalah kredit macet. Kredit bermasalah yang berkepanjangan akan menggerus CAR sehingga harus diselesaikan dengan penambahan modal (equity) oleh pemegang saham lama atau harus mencari pemegang saham baru.

Jadi, bank itu perlu injeksi likuiditas dan injeksi modal. Di sinilah perlu koordinasi kuat antara BI dan OJK. Jika bank masih relatif sehat dan sedang menunggu injeksi modal dari pemegang saham baru, tetapi deposit masih banyak yang keluar, sedangkan fasilitas term repo sudah terpakai semua, bank itu mungkin masih memenuhi syarat dapat pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dari BI.

PLJP memiliki jangka waktu maksimum tiga bulan, jaminannya ”kredit lancar milik bank”. Namun, BI tentu memerlukan informasi akurat dari OJK bahwa bank itu solven dan akan sanggup melunasi PLJP. Bank sentral ingin mengirim pesan bahwa bank harus dikelola dengan pruden sehingga PLJP tak mudah diakses. Akan tetapi, perbankan mengeluh persyaratan PLJP terlalu sulit. Di sinilah harus ada solusi.

Jika dianggap terlalu ketat, persyaratan PLJP mungkin bisa dilonggarkan asalkan tak menciptakan moral hazard. Jangan sampai tugas sebagai lender of the last resort perbankan malahan beralih dari BI ke bank BUMN atau bahkan ke pemerintah.

Jika bank tak dapat disehatkan oleh pemegang saham, OJK sebaiknya jangan menunda-menunda penyerahan bank ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Namun, jangan juga penyaluran likuiditas dibebankan ke LPS pada saat bank masih layak menerima PLJP. UU No 2/2020 telah memberi pasal perlindungan hukum kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan maksud agar pejabat tidak ragu menjalankan kewajibannya menjaga stabilitas sistem keuangan. Tentu saja sangat diharapkan adanya empati dan pendampingan dari aparat audit dan aparat hukum untuk lancarnya tugas KSSK. Mari kita jaga bersama kapal besar Indonesia yang sedang diterjang ombak krisis ekonomi akibat Covid-19. (hjtp)

 

Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2020/07/03/restrukturisasi-kredit-dan-likuiditas/