FEB UI dan LAPAN Adakan Seri 1 Webinar Menuju SINASKPA V, “Space Economy”

0

FEB UI dan LAPAN Adakan Seri 1 Webinar Menuju SINASKPA V, “Space Economy”

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – 09/07/2020 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyelenggarakan Seri 1 Webinar Menuju SINASKPA V, yang bertajuk “Space Economy” pada Kamis (9/7/2020).

Narasumber pada webinar ini ialah Dr. Robertus Heru Triharjanto, M.SC., Kepala Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa LAPAN, Shinta Rahma Diana, S.E., M.Si., Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa LAPAN, dengan moderator Rafika Yuniasih, S.E., Ak., MSM. Acara ini disiarkan melalui Zoom dan Youtube dari Pusat KKPA.

Dr. Ancella A. Hermawan, MBA., CA., ACMA., CGMA., Ketua Departemen Akuntansi dan Plt. Ketua Program Studi Magister Akuntansi-PPAk. FEB UI memberikan sambutan pembuka, mengatakan UI dan LAPAN sudah melakukan penandatanganan nota kesepahaman MOU pada April lalu, untuk bekerjasama dalam menyelenggarakan Simposium Nasional yang akan diadakan pada September 2020. Webinar ini  mengawali simposium tersebut, sebagai tahap pengenalan tentang keantariksaan.

Robertus Heru Triharjanto, sebagai narasumber pertama, memaparkan bahwa pengguna paling dominan satelit informasi berbasis penginderaan jauh, dengan teknologi pembawa kamera yang digunakan untuk memfoto dari luar angkasa, ialah Kementerian Pertanian. Penginderaan jauh juga dimanfaatkan untuk mempermudah tata ruang, agar mempercepat proses pendaftaran tanah bagi rakyat, sesuai dengan penandatanganan nota kesepahaman terkait pemanfaatan citra satelit beresolusi tinggi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan LAPAN.

Selain itu, perpajakan, pemantauan titik panas (hotspot)/kebakaran lahan hutan, pengelolaan/pengawasan maritim, mitigasi bencana alam, dukungan pengambilan keputusan untuk penanggulangan Covid-19 juga menggunakan penginderaan jauh citra satelit. Dengan begitu banyak penginderaan jauh yang dimanfaatkan, sehingga untuk Sustainable Development Goals (SDGs) terdapat 21 aplikasi.

“Di satu sisi, Indonesia sudah meluncurkan 7 satelit telekomunikasi sejak 2012 – 2022, yaitu satelit Telkom 3 (2012), BRIsat (2016), Telkom 3S (2017), Telkom 4 (Merah Putih, 2018), Nusantara 1 (2019), Nusantara 2 (2020), dan Multifungsi (Satriya, 2022). Ke depannya, Indonesia harus mencontoh Thailand yang sudah berhasil menghitung nilai tambah dampak ekonomi dan sosial industri satelit, sehingga bisa mencapai kemandirian di industri satelit pada tahun emas 2045,” ucap Heru.

Shinta Rahma Diana, sebagai narasumber kedua, menyampaikan bahwa konsep ekonomi keantariksaan merupakan suatu rantai nilai tambah ekonomi dari kegiatan keantariksaan yang melibatkan semua pelaku, baik sektor publik maupun swasta, yang ikut dalam kegiatan pengembangan, penyediaan, dan penggunaan produk dan layanan. Kelompok industri dan ekonomi antariksa mencakup, di antaranya perusahaan yang membuat, meluncurkan dan menjalankan aset antariksa. Kemudian, perusahaan yang menggunakan sinyal dan data yang dipasok oleh aset antariksa. Dan kelompok yang tidak berada pada industri antariksa, namun mendapatkan pendapatan dari direct space product (alat navigasi satelit, layanan peta dan siaran satelit langsung).

Pendapatan hulu dan hilir berdasarkan satelit geostasioner komersial yang dibangun di Amerika Utara atau Eropa sekitar USD 450 juta, dibagi antara segmen-segmen utama yang berbeda. Perkembangan ekonomi keantariksaan tumbuh positif bahkan di luar sektor antariksa sendiri, karena ekonominya mencakup pengakuan dan dampak akan tingginya tingkat perubahan dari produk dan layanan.

“Konsep penerapan ekonomi keantariksaan di Indonesia dari valuasi penginderaan jauh berbasis satelit, meliputi objek yang akan divaluasi, definisi ekonomi keantariksaan, space economy value chain, dan konsep-konsep pengukuran. Semua itu, memperhatikan hambatan/tantangan dalam valuasi dan tantangan metodologis (melakukan interpretasi anggaran publik terkait aktivitas antariksa),” ujar Shinta.

“Dengan demikian, space economy sudah sangat berkembang di Internasional. Di Indonesia sebenarnya kegiatan space economy sudah terjadi sejak Indonesia memiliki satelit Palapa yang pertama, akan tetapi belum banyak diteliti dan dikaji. Untuk penginderaan jauh dari distribusi data sudah sangat terbukti mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi,” tutup Shinta. (hjtp)