Riani Rachmawati : Pandemi, Ketenagakerjaan, dan “Social Partnership”

0

Riani Rachmawati : Pandemi, Ketenagakerjaan, dan “Social Partnership

 

Hana Fajria –  Humas FEB UI

DEPOK – Rabu (10/6/2020), Dosen Departemen Manajemen FEB UI, Riani Rachmawati merilis tulisannya yang dimuat detiknews.com,  yang berjudul “Pandemi, Ketenagakerjaan, dan “Social Partnership“”. Berikut artikelnya.

Covid-19 tidak hanya membawa dampak negatif untuk kesehatan, namun juga untuk keberlangsungan pekerjaan dan penghasilan para buruh. International Labour Organisation (ILO) memberikan prediksi, bahwa secara global pandemi ini akan menyebabkan sekitar 195 juta orang kehilangan pekerjaan. Lebih jauh ILO juga memprediksikan empat dari lima pekerja (81%) merasakan dampak dari berhentinya operasi perusahaan atau pengurangan jam kerja.

Data Kementerian Tenaga Kerja Indonesia pada April 2020, mengungkapkan bahwa sekitar dua juta pekerja formal dan informal terkena PHK akibat pandemi ini. Jumlah ini berpotensi akan terus meningkat dengan perkembangan penyebaran Covid-19 yang masih mengkhawatirkan. Dalam skenario buruk, penambahan pengangguran akan mencapai 2,9 juta orang; bahkan dengan skenario terburuk, diprediksi pengangguran baru dapat mencapai 5,2 juta orang.

Akomodasi, jasa makanan, manufaktur, dan retail adalah sektor-sektor yang paling merasakan dampak negatif kelesuan usaha akibat Covid-19. Berita ini buruk bagi siapapun yang mendengarnya, bagi dunia usaha serta para buruh dan keluarganya.

Tentunya keresahan pekerja perlu mendapatkan perhatian serius. Saat inilah pandangan bahwa buruh bukan hanya sekadar faktor ekonomi yang bisa “dibuang” saat tidak dibutuhkan, namun merupakan salah satu pilar utama proses produksi barang dan jasa yang dapat diuji; bahwa buruh bukan sekedar objek ekonomi, tapi pelaku utama ekonomi.

Kelesuan bisnis akibat pandemi ini menjadi alasan utama pengusaha merumahkan atau memberhentikan buruh terutama untuk sektor padat karya yang paling terimbas dari kondisi ini, seperti retail dan manufaktur. Meskipun demikian, hal ini tidak pernah bisa menjadi pembenaran keputusan sepihak pengusaha atas keberlangsungan pekerjaan para buruh.

Bencana pandemi ini terjadi di saat Indonesia sedang berjuang untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi rakyatnya, yang mayoritas berada pada usia produktif atau yang sering dikenal dengan istilah “bonus demografi” yang berlangsung sejak tahun ini hingga 2030. Bonus demografi memberikan sinyal betapa banyaknya kesempatan kerja dibutuhkan oleh negara ini.

Kondisi ini akan menyebabkan para buruh yang di-PHK dan dirumahkan (yang menyebabkan mereka merasa tidak aman dengan keberlangsungan pekerjaannya) akibat Covid-19, akan kembali meramaikan pasar tenaga kerja sebagai pencari kerja, bersama dengan mereka yang berada di usia produktif dan selama ini belum mendapatkan pekerjaan.

Karena itu wajar bila Serikat Pekerja mengingatkan agar pengusaha tidak seenaknya melakukan PHK dengan dalih kelesuan usaha akibat pandemi ini. Bukan hanya karena tuntutan ekonomi dari para buruh, namun juga kebutuhan negara agar jumlah pengangguran tidak lagi bertambah yang menyebabkan beratnya beban pasar tenaga kerja di Indonesia.

Organisasi Pengusaha Internasional (International Employers Organisation) dan Konfederasi Serikat Pekerja Internasional (International Trade Union Confederation) beberapa waktu lalu membuat pernyataan bersama tentang Covid-19. Pernyataan bersama tersebut di antaranya tentang pentingnya kontinuitas usaha, jaminan penghasilan dan solidaritas serta dialog sosial dan tanggung jawab bersama dalam menghadapi dampak dari pandemi ini di tempat kerja.

Pernyataan bersama ini sejalan dengan rekomendasi ILO dalam menyikapi dampak Covid-19 di dunia kerja. Rekomendasi dari ILO meliputi: (1) memberikan stimulus terhadap ekonomi dan lapangan pekerjaan melalui berbagai kebijakan fiskal dan moneter; (2) memberikan dukungan kepada perusahaan, pekerjaan, dan penghasilan buruh melalui perlindungan sosial, mempertahankan buruh serta keringanan fiskal/pajak bagi perusahaan; (3) melindungi buruh di tempat kerja melalui penerapan prinsip-prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); dan (4) menggunakan dialog sosial untuk mencari solusi bersama melalui peningkatan kapasitas pengusaha, buruh dan pemerintah.

Sayangnya, berita mengenai PHK massal di berbagai daerah di Indonesia saat ini makin merebak. Dunia usaha merasa tak mampu lagi mempertahankan buruhnya, menutup usaha, dan merumahkan ribuan karyawan yang dimilikinya. Namun yang menjadi catatan adalah tindakan sepihak perusahaan tanpa adanya dialog sosial. Hal ini menunjukkan rendahnya kapasitas pelaku ekonomi di Indonesia untuk melakukan dialog social, terutama saat menghadapi “bencana'”seperti pandemi saat ini.

Prerogatif manajemen kembali dominan dan buruh hanya diharapkan dapat menerima keputusan. Padahal hingga saat ini belum ada rencana mitigasi yang solutif yang terdengar. Pendaftaran Kartu Prakerja juga dipandang pesimis oleh banyak pihak dapat menjadi jalan keluar ketenagakerjaan akibat pandemi ini. Begitu juga berbagai insentif yang direncanakan hanya bersifat jangka pendek,, dengan nominal yang jauh dari kecukupannya untuk hidup secara layak.

Saatnya Social Partnership?

Richard Hyman (2001) dalam bukunya Understanding European Trade Unionism: Between Market, Class and Society mengungkapkan bahwa konsep social partnership awalnya dikenal di Austria di awal 1900-an. Saat itu konfrontasi sengit antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di Austria yang menyebabkan jatuhnya ekonomi Austria dan memuluskan pendudukan NAZI di Austria pada 1938.

Bangkitnya Austria ditandai dengan semangat baru kerja sama dan kolaborasi asosiasi pengusaha dan serikat pekerja, menggantikan perjuangan kelas. Pembuatan berbagai kebijakan dilakukan dengan komunikasi dan kerja sama antara dua belah pihak dengan fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Masing-masing pihak melihat dirinya sebagai pilar utama stabilitas ekonomi dan sosial.

Senada dengan Austria, konsep social partnership juga dikenal di Jerman, Belanda, dan Inggris dengan berbagai variasi implementasinya. Paling tidak, menurut Ackers & Payne (2011) ada tiga prinsip social partnership yang perlu diperhatikan: (1) pelibatan serikat pekerja sebagai sentral hubungan industrial; (2) partisipasi pekerja berdasarkan hak-hak pekerja; dan (3) keterlibatan seluruh pihak terkait (stakeholder) di level nasional.

Pelaksanaan prinsip-prinsip ini tentunya membutuhkan kemauan dan kapasitas yang memadai dari semua pihak untuk duduk bersama dan berdialog untuk mencari berbagai alternatif jalan keluar. Bila dikaitkan dengan konsep justice, maka dialog seluruh stakeholder memenuhi prinsip procedural justice dan akan menghasilkan keputusan yang lebih bisa diterima berbagai pihak.

Lebih jauh, social partnership menghidupkan prinsip “musyawarah untuk mufakat” yang menjadi salah satu prinsip penting di Indonesia.

Permasalahan utama yang harus segera dicarikan solusinya adalah, penciptaan lapangan kerja bagi 70% populasi usia produktif. RUU Cipta Kerja yang sejatinya ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan ini ditolak mentah-mentah oleh serikat pekerja, karena minimnya keterlibatan mereka sejak awal pembuatan RUU sehingga aspirasi mereka tidak terefleksikan dalam RUU ini.

Padahal keberadaan serikat pekerja memiliki sumber daya penting, yaitu pengetahuan, khususnya informasi mengenai kondisi tenaga kerja yang tidak dimiliki oleh aktor lain dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu penting memastikan keterlibatan anggota kelompok tertentu, karena sering kali mengetahui paling banyak mengenai bidang yang menjadi perhatian mereka (Howlett & Ramesh 2003).

Selain itu, penciptaan lapangan kerja bukan hanya ‘sekedar bekerja’ tetapi memenuhi konsep ‘kerja layak’ (decent work) yang selama ini dipromosikan oleh ILO. Fleksibilitas pasar tenaga kerja yang direfleksikan dengan tenaga kerja kontrak menjadi praktik yang sangat berbahaya bila tidak disertai dengan jaminan sosial yang kuat dan pengembangan keahlian pekerja yang komprehensif.

Perlu diingat bahwa UMKM menyerap sekitar 96% tenaga kerja yang sangat rentan terhadap fluktuasi pasar barang dan jasa serta perubahan teknologi. Solusi untuk menciptakan lapangan kerja (layak) harus komprehensif dan melibatkan berbagai pihak melalui social partnership.

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga pentingnya institusi social partnership yang kuat untuk bersama mencari solusi terbaik dari permasalahan turunan yang disebabkan oleh pandemi ini. Semua berjalan begitu cepat, nyaris tidak terkontrol, dan tidak terukur kapan akan berakhir. Bekerja yang selama ini menjadi sumber penghasilan tiba-tiba lenyap tanpa ada rencana cadangan yang berarti.

Bagaimana nasib bangsa ini bila bonus demografi dan tingginya pengangguran karena pandemi Covid-19 tidak disertai dengan terciptanya lapangan kerja (layak) yang memadai? Tidak bisa tidak, saatnya duduk bersama melalui social partnership untuk mencari solusi yang dapat segera diimplementasikan sebelum semuanya terlambat.(hjtp)

Sumber: http://news.detik.com/kolom/d-5048219/pandemi-ketenagakerjaan-dan-social-partnership