Budi Frensidy: Menampik Cetak Uang Demi Menjaga Inflasi

0

Budi Frensidy: Menampik Cetak Uang Demi Menjaga Inflasi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK ā€“ Selasa (26/5/2020), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Bursa ā€“ Wake Up Call, halaman 4, yang berjudul ā€œMenampik Cetak Uang Demi Menjaga Inflasiā€. Berikut artikelnya.

ā€œMenampik Cetak Uang Demi Menjaga Inflasiā€

Batas maksimal defisit anggaran sebesar 3% dari PDB akhirnya dijebol untuk pertama kalinya sejak diatur UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Akibat pandemi dan berbekal PERPPU 1 Tahun 2020, pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 6,27% atau Rp1.028,6 triliun (belanja negara Rp2.720,1 triliun dan pendapatan negara Rp1.691,6 triliun). Seperti negara-negara lainnya, pemerintah kita menggelontorkan dana masif untuk menangani wabah dan menyelamatkan sektor-sektor yang terdampak. Besaran defisit diperkirakan turun menjadi 4,17% di 2021 dan di bawah 4% di 2022.

Untuk menambal defisit ini, pemerintah akan mengandalkan pembiayaan dari empat sumber. Pertama, dari Sisa Anggaran Lebih, dana abadi, dan dana yang ada di Badan Layanan Umum. Kedua dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Bank Indonesia, sesuai PERPPU, dapat membeli SBN ini sebagai the last resort jika pasar tidak dapat menyerap atau terjadi disrupsi di pasar. Ketiga dari lembaga-lembaga seperti LPS, BPIH, BPJS Ketenagakerjaan, dan Taspen yang selama ini menempatkan dana kelolaan mereka pada instrumen investasi pemerintah melalui private placement. Sumber terakhir dari organisasi multilateral seperti Bank Dunia dan ADB.

Yang menarik, DPR sempat mengusulkan BI untuk mencetak uang Rp600 triliun sebagai opsi pembiayaan. Mereka menyebut Amerika Serikat sering mengambil kebijakan ini kala perekonomiannya melambat. Yang mereka lupa, dolar AS dipakai tidak hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia sehingga permintaannya tinggi. Sementara rupiah dan mata uang lainnya tidak mempunyai privilege ini. Praktik yang lazim dilakukan bank-bank sentral adalah mencetak uang sesuai kebutuhan yaitu mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Jika pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 3%, pencetakan uang wajarnya di kisaran 8%. Ini sesuai persamaan Fisher yaitu MV = PT.

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah dengan mengendalikan inflasi (kestabilan rupiah terhadap barang dan jasa) dan menjaga nilai tukar (kestabilan rupiah terhadap mata uang negara lain).

Sejatinya, kebijakan pembiayaan defisit anggaran melalui cetak uang sudah pernah kita alami pada zaman orde lama. Saat itu, negara kita sedang dalam revolusi dengan banyak proyek mercusuar, sehingga BI tidak dapat menolak ketika diperintahkan untuk mencetak uang. Akibatnya, terjadilah hiperinflasi ratusan persen hingga dilakukan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp1.000 menjadi Rp1 pada 13 Desember 1965 sebagai klimaknya.

Trauma dengan hiperinflasi, pemerintahan orde baru tidak bersedia lagi mencetak uang. Sebagai gantinya, pemerintah memilih opsi pinjaman luar negeri untuk sumber pembiayaan dan dibentuklah IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) di tahun 1967 yaitu kelompok Internasional untuk dana bantuan multilateral ke Indonesia. IGGI kemudian berubah nama menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia) pada 1992.

Awalnya belum terlihat risiko default dari opsi foreign debt ini ketika Indonesia menganut sistem kurs tetap hingga 12 September 1986 yaitu saat terjadi devaluasi terakhir dari Rp1.134 menjadi Rp1.664/USD. Namun, kita menganut sistem kurs mengambang terkendali setelah itu dan kemudian sistem kurs mengambang bebas pada 1997. Mengapa berubah, saya akan membahasnya di kesempatan lain. Dengan sistem ini, tidak ada lagi istilah devaluasi tetapi menjadi depresiasi rupiah.

Paritas daya beli (paritas suku bunga) mengatakan, nilai tukar mata uang yang mengalami inflasi (suku bunga) lebih tinggi harus terdepresiasi sebesar selisih inflasi (suku bunga) kedua negara itu. Jika inflasi (suku bunga) Indonesia lebih tinggi 10% daripada AS dalam satu tahun, maka depresiasi rupiah pun mestinya sebesar itu.

Inflasi tahunan kita periode 1986-1997 aktualnya sering double digit tetapi pemerintah, untuk tujuan politis, mengintervensi dan mengumumkannya single digit. Dengan perbedaan inflasi aktual RI dan AS yang sekitar 10%, seharusnya depresiasi rupiah 10%. Jika kemudian pemerintah mengendalikan dan memaksanya menjadi hanya 4-5% p.a., maka nilai tukar USD menjadi tidak wajar alias kemurahan.

Dilihat dari suku bunga juga sama. Di awal 90-an bunga pinjaman rupiah 19%-21%, sementara bunga utang USD hanya 4-6%. Ini membuat korporasi kita berbondong-bondong meminjam USD karena biayanya jauh lebih rendah yaitu 10% (5% bunga plus depresiasi 5%) berbanding 20% dalam rupiah. Akibatnya, utang valas korporasi kita melonjak tinggi dan nilai rupiah terjun bebas menjadi Rp16 ribu/USD di medio 1998 dari hanya Rp2.450 setahun sebelumnya. Inflasi menembus 77% dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Korporasi yang berutang dalam USD merugi berkali-kali lipat. Bank kena rush dan banyak yang harus dilikuidasi.

Setelah orde lama tumbang karena money printing dan orde baru jatuh karena foreign debt, tidak banyak pilihan untuk orde setelahnya kecuali public debt seperti di banyak negara lain. Sebagai landasan hukumnya, terbitlah UU No.24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.

Dengan berutang kepada publik, kini 85 persen utang pemerintah kita dengan nilai Rp4.447 triliun berbentuk SBN baik dalam rupiah maupun valas (USD, yen, dan euro). Awalnya ada kekhawatiran opsi pembiayaan ini juga tidak aman. Ternyata, ada blessing in disguise. Kita bisa bebas dari utang dan tekanan IMF, hiperinflasi, dan sanering. Total utang hanya 31% dari PDB dan sebagian besar dalam rupiah sehingga risiko default sangat rendah. SBN juga membawa berkah lain yaitu menjadi instrumen investasi utama untuk dana pensiun, perusahaan asuransi, aset manajemen, dan bank.

Masih dalam suasana hari kemenangan, perkenan saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H kepada pembaca setia kolom ini. (hjtp)

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Selasa, 26 Mei 2020. Rubrik Bursa ā€“ Wake Up Call. Halaman 4.