Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 4: Kerentanan dan Inovasi Pelaku UMKM

0

Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 4: Kerentanan dan Inovasi Pelaku UMKM

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Usaha Kecil Menengah Center (UKMC) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengisi acara Bincang Sore Bersama FEB UI  ke-4 yang berjudul “Kerentanan dan Inovasi Pelaku UMKM” melalui webinar, pada Selasa (19/5/2020).

Pembicara pada acara bincang ini adalah M. Riza Adha Damanik, S.T., M.Si., Ph.D., Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM, Riska Noviyanti, pengusaha UKM pemilik Callysta Shop dan T.M. Zakir Sjakur Machmud, M.Ec., Ph.D., Kepala UKM Center FEB UI, dengan moderator Vid Adrison, Ph.D., yang juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI. Acara dihadiri secara daring oleh 478 orang dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia.

Dr. Gede Harja Wasistha, CMA., Wakil Dekan II Bidang Sumber Daya, Ventura dan Administrasi Umum dalam sambutan pembuka menyebutkan bahwa acara Bincang Sore Bersama FEB UI ini bertujuan untuk membagikan pandangan yang ikut menawarkan solusi pada masa Covid 19. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembicara, moderator dan juga kepada para panitia yang berada di balik layar.

M. Riza Adha Damanik, sebagai pembicara pertama, memaparkan bahwa pandemi Covid-19 memberikan tekanan (shock) pada koperasi dan terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Berdasarkan laporan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada April 2020, lebih dari 50% UMKM tidak survive dan diprediksi 43% akan berhenti beroperasi dalam beberapa bulan ke depan.

Pada dasarnya, masalah utama koperasi adalah permodalan 47%, penjualan 35%, distribusi 7%. Jenis usaha koperasi terdampak meliputi simpan pinjam 42%, konsumen 40%, jasa 8%, produsen 8%, dan pemasaran 2%. Di sisi lain, masalah utama UMKM ialah penjualan 28,4%, distribusi 19,1%, bahan baku 17,8%. Sektor utama terdampak di antaranya penyedia akomodasi dan makan minum 36,03%, perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil motor 25,44%, dan industri pengolahan 17,62%.

“Lima skema perlindungan dan pemulihan Koperasi dan UMKM (KUMKM), yakni (1) UMKM miskin dan rentan menerima bansos, Program Keluarga Harapan, Kartu Pra Kerja, (2) UMKM dengan omzet <Rp4,8 miliar per tahun mendapat insentif pajak, (3) KUMKM mendapat relaksasi dan restrukturisasi kredit, (4) perluasan pembiayaan modal kerja, serta (5) mendapat dukungan dari kementerian, BUMN dan pemda sebagai penyangga produk,” ujar Riza.

Lanjut Riza, pangan dan basic needs serta non pangan yang berhubungan dengan kesehatan, merupakan jenis UMKM berpeluang tumbuh di tengah Covid-19. Tantangannya adalah hanya  13% UMKM berbasis online/go-digital yang mengalami peningkatan omzet dan 87% masih secara offline yang mengalami krisis atau kurangnya omzet. Di sini perlunya menaikkan UMKM melalui literasi digital sehingga mereka dapat meningkatkan produktifitas dan keberlangsungannya.

“Pasca Covid-19, Indonesia memerlukan pemulihan ekonomi UMKM yang merata dan keberlangsungannya,  dengan  cepat agar tidak ada stagnasi ekonomi berkepanjangan. UMKM digital, produktif, berdaya saing adalah kunci pemulihan ekonomi,” tutup Riza.

Riska Noviyanti, pemilik usaha UMKM sebagai pembicara kedua mengatakan, di tengah pandemi Covid-19 pelaku UMKM harus cepat respon terhadap perubahan,  mencari informasi dan berkonsultasi kepada teman-teman lainnya, serta mencari bimbingan dari pihak yang ahli seperti UKM Center FEB UI, mengenai produk yang laku di pasaran sesuai kondisi saat ini (misalnya pangan, produk kesehatan/masker) serta bagaimana membuat laporan keuangan yang benar.

“Untuk meningkatkan omzet saat ini, kita perlu beralih ke penjualan secara online, bisa melalui media sosial (Whatsapp, Instagram, dan sebagainya). Kuncinya semangat, fokus, dan tetap teguh walaupun lelah untuk dijalani,” imbuh Riska Noviyanti.

T.M. Zakir Sjakur Machmud, sebagai pembicara ketiga, menyampaikan bahwa krisis UMKM di masa pandemi Covid-19 bermula dari terdampaknya sektor produksi (riil), supply shock menjadi demand shock dan UMKM terkena imbas karena terjadi diskonektivitas dengan konsumen dan supplier akibat diterapkannya social/physical distancing.

UMKM mempunyai karakteristik produk berupa barang/jasa yang langsung dikonsumsi masyarakat, yang aktivitas usahanya bersifat harian (daily basis), transaksi bersifat tatap muka, menggunakan uang, pengelolaan keuangan masih bersifat tradisional, dan status usaha bersifat informal (tidak terdaftar, berizin, terstandar). Yang dipikirkan oleh unit usaha adalah revenue, cost, produksi, harga input dan output serta profit.

“Peluang UMKM supaya roda bisnisnya kembali berputar adalah dengan melakukan switch production misal ke alat kesehatan (buat masker, hazmat, hand sanitizer, sabun pembersih, cetak kantong amal), masuk ke digital (sosmed atau e-commerce), buat model bisnis baru, dan bergabung dengan komunitas,” papar Zakir.

Presiden RI, Joko Widodo, telah mencanangkan gerakan menciptakan permintaan untuk produk UMKM dengan  mengajak masyarakat belanja di Toko Kelontong Tetangga dan mendorong penggunaan produk dalam Negeri, Jokowi Suarakan #BanggaBuatanIndonesia. Contoh yang dapat kita lihat, Pemprov Jawa Tengah akan borong 3 juta masker buatan UMKM senilai Rp10 miliar. Inilah hal-hal yang antara lain akan mendorong UMKM untuk maju dan berkembang.

“Saya tidak dapat mengubah arah angin, tetapi saya dapat menyesuaikan layar saya untuk selalu mencapai tujuan saya,” demikian Zakir mengutip di akhir presentasinya. (hjtp)