Ari Kuncoro : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ari Kuncoro : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 sebesar 5,02 persen. Pertumbuhan industri manufaktur yang merosot belum dapat ditopang industri lain.

Ari Kuncoro : Rektor Universitas Indonesia

Berita terakhir Badan Pusat Statistik menyebutkan, pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen. Sementara jika dihitung secara tahunan, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2019 dibandingkan dengan triwulan IV-2018 sebesar 4,97 persen. Dari sisi produksi, pelemahan pertumbuhan pada triwulan IV-2019 terutama terjadi di sektor manufuktur yang porsinya hampir 20 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini turun signifkan dari 4,14 persen secara tahunan pada III-2019 menjadi 3,66 persen pada triwulan IV-2019.

Sejumlah sektor lain memberi sedikit kompensasi dengan pertumbuhan yang cukup tinggi meskipun karena porsinya di bawah sektor manufaktur, penurunan tipis pertumbuhan ekonomi tetap terjadi. Sektor pertanian, misalnya, tumbuh 4,26 persen secara tahunan pada triwulan IV-2019, meningkat dari 3,12 persen. Penyediaan akomodasi (hotel) dan makanan (restoran) meningkat tajam dari 5,41 persen menjadi 6,41 persen pada triwulan IV-2019. Transportasi dan pergudangan melonjak dari 6,66 persen ke 7,55 persen. Kendati demikian, hal itu masih belum cukup mengangkat pertumbuhan PDB menjauhi pertumbuhan steady state 5,0 persen. Sebab, sektor perdagangan yang porsinya sekitar 13 persen dari PDB juga praktis stagnan, bahkan melambat tipis dari 4,43 persen ke 4,24 persen.

Keseimbangan lunak
Hal tersebut mengonfirmasi, Indonesia dalam 6 tahun terakhir, setelah berakhirnya bonanza komoditas pada 2014, tetap berada dalam keseimbangan lunak (steady state) ala Solow-Swan (1956) dengan trayektori pertumbuhan 5 persen per tahun. Hal serupa dialami negara-negara yang tergabung dalam G-20, yang tampaknya bertengger dalam keseimbangan jangka panjang. Pada saat masa bonanza komoditas, angka pertumbuhan 6 persen adalah efek term of trade (TOT) meningkatkan pertumbuhan di atas angka keseimbangan lunak untuk sementara waktu. Model ini memprediksikan, yang dapat membawa perekonomian ke keseimbangan jangka panjang lebih tinggi permanen adalah peningkatan produktivitas, baik yang terkandung dalam modal fisik maupun sumber daya manusia.

Konservatisme belanja masyarakat
Faktor utama di balik kinerja pertumbuhan sektor manufaktur dan perdagangan adalah pola belanja masyarakat yang lebih sukar diprediksi dengan membanjirnya informasi, baik positif maupun negatif, melalui berbagai media informasi. Kehati-hatian yang meningkat barangkali istilah yang paling tepat untuk menggambarkan sentimen masyarakat saat ini. Dari sisi perbankan, situasi ini dicerminkan dengan pergeseran dana pihak ketiga (DPK) dari tabungan ke deposito berjangka. Situasi ini sudah terjadi sejak Februari 2019.

Pada saat itu, rerata tidak tertimbang pertumbuhan deposito berjangka pada bank-bank buku IV adalah 16,8 persen, sedangkan rerata industri 7,6 persen.

Pergeseran in masih terjadi hingga September 2019 meskipun sudah mereda. Tampaknya karena keseimbangan baru pemegangan aset likuid lebih konservatif sudah mulai tercapai. Rerata pertumbuhan deposito di bank-bank buku IV tetap lebih tinggi meskipun perbedaannya makin tipis, yaitu 9,05 persen dibandingkan dengan 8,4 persen untuk rerata industri.

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang dikeluarkan BPS menunjukkan peningkatan optimisme pada triwulan IV-2019 karena ekspektasi positif terhadap pendapatan rumah tangga. Kendati demikian, komponen rencana pembelian barang tahan lama turun, yang menunjukkan masyarakat masih menahan diri untuk tidak membelanjakan uang.

Di sisi investasi, survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dikeluarkan BI menunjukkan kegiatan ekspansi triwulan IV-2019 melambat. Nilai saldo bersih tertimbang (SDT) dari SKDU adalah 7,79 persen lebih rendah dari 13,39 persen pada triwulan III-2019. Sejalan dengan hal tersebut, kapasitas produksi terpakai dan penggunaan tenaga kerja tercatat lebih rendah di triwulan IV-2019. Kegiatan usaha yang tetap tumbuh positif terjadi di sektor-sektor keuangan, real estat, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa serta pengangkutan dan komunikasi.

Kecuali untuk perdagangan dan real estat, survei ekspektasi dunia usaha ini sesuai dengan data pertumbuhan sektoral PDB yang dikeluarkan BPS.

Dampak ekonomi virus korona
Data dan survei-survei di atas belum memasukkan perubahan ekspektasi masyarakat akibat ingar bingar virus korona tipe baru sejak akhir Desember 2019. Yang jelas akan terdampak langsung adalah sektor-sektor hotel dan restoran yang menjalar ke sektor perdagangan. Sektor transportasi dan pergudangan akan lebih tahan banting akibat komponen lalu lintas barang.

Ekuilibrium lunak ala Solow-Swan dengan pertumbuhan 5 persen per tahun merupakan keseimbangan stabil, tidak mudah tumbuh lebih cepat dari besaran tersebut. Pada saat yang sama juga tidak terlalu mudah untuk jatuh dari keseimbangan tersebut jika dapat ditemukan sumber-sumber pertumbuhan baru.

Namun, bukan berarti tidak diperlukan kebijakan pemerintah. Dengan pergeseran pengeluaran masyarakat ke arah konsumsi, pengalaman, dan gaya hidup, dampak dari virus korona tipe baru terhadap perekonomian akan cukup signifikan. Selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi secara tahunan yang terendah terjadi pada triwulan II-2015 dengan 4,74 persen. Pada saat itu, pertumbuhan sektor perdagangan secara tahunan adalah 1,57 persen, sedangkan hotel dan restoran 3,7 persen.

Kalkulasi konservatif menunjukkan, jika sektor hotel dan restoran dan perdagangan melemah ke tingkat ini, pertumbuhan PDB dapat melemah ke 4,86 persen dengan potensi reperkusi ke sektor manufaktur. Tugas pemerintah adalah mencari minimum essential growth dengan mengompensasi penurunan wisatawan mancanegara dengan kebijakan yang memanfaatkan pergeseran gaya hidup masyarakat. Misalnya, dengan mendorong swasta memberi kebijakan diskon untuk transportasi ataupun akomodasi untuk memanfaatkan liburan panjang dan cuti bersama.

Sumber : Harian Kompas 11 Februari 2020