Ari Kuncoro : Perekonomian Indonesia Menyambut 2020

Ari Kuncoro : Perekonomian Indonesia Menyambut 2020

Tanpa terasa pengujung 2019 sudah dekat, sebentar tahun 2020 akan terbit di ufuk timur. Tak dapat dipungkiri, tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi Indonesia.

Tanpa terasa pengujung 2019 sudah dekat, sebentar tahun 2020 akan terbit di ufuk timur. Tak dapat dipungkiri, tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi Indonesia. Tiga kejadian penting terjadi, perang dagang AS-China, Pilpres 2019, serta prospek resesi AS dan dunia.

Publikasi data makroekonomi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hanya tersedia sampai triwulan III-2019. Pada saat itu, secara musiman perekonomian sedang ada pada titik nadir, baik karena siklus bisnis maupun siklus politik.

Akibatnya, untuk melihat ke depan, tak dapat dilakukan hanya dengan melihat tren saja, tetapi memerlukan beberapa indikator awal (leading indicator), seperti indeks keyakinan konsumen (IKK) yang diterbitkan Bank Indonesia yang terdiri dari Indeks Kondisi Ekonomi (IKE), Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK).

Indikator yang lain adalah indeks manajer pengadaan (purchasing manager index/PMI) yang berguna untuk mendeteksi sisi produksi perekonomian melalui perilaku pengadaan persediaan barang, baik untuk proses produksi selanjutnya maupun dijual kembali.

Kecuali ada kejadian luar biasa, indeks-indeks itu secara umum punya pola berulang setiap tahun, walau skor maksimum dan minimumnya dapat saja berbeda sesuai perkembangan lingkungan luar.

Perilaku Ekonomi

Dari sisi permintaan, dua variabel penting adalah konsumsi dan investasi yang secara bersama membentuk kira-kira 85 persen produk PDB. Pola umum setelah Krisis Moneter 1998 menunjukan investasi lebih mengikuti prospek pertumbuhan konsumsi masyarakat dari pada sebaliknya. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah di kota-kota menengah seperti Makassar, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan lainnya.

Data triwulan III-2019 menunjukan, pertumbuhan konsumsi mengalami perlambatan dari 5,05 persen ke 5,02 persen secara tahunan. Komponen tertinggi adalah pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, disusul oleh hotel dan restoran yang masing-masing tumbuh 6,6 persen dan 5,8 persen.

Sementara komponen yang lain seperti pakaian dan alas kaki, perlengkapan rumah tangga, dan transportasi dan komunikasi ada di bawah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Bersamaan dengan itu, nilai IKK mencapai titik terendah pada Oktober 2019, yakni 118,4. Pola ini serupa dengan indeks pembelian barang-barang tahan lama (IPBT) yang mencatat skor 108,9, menurun signifikan dari 111,7 di bulan sebelumnya. Bulan Nopember 2019 merupakan titik balik, dengan nilai IKK yang secara signifikan membaik ke 124,2 dengan perbaikan di semua komponennya.

IPBT juga membaik di semua golongan pendapatan dan kelompok usia. IPBT mempunyai pola membaik pada akhir tahun yang diteruskan sampai triwulan I dan II setiap tahunnya. Pergeseran hari raya Idul Fitri makin dekat bulan-bulan di awal tahun kalender sedikit menggeser waktu dari perilaku ini.

Pola baru menunjukan, pada triwulan II pembelian barang tahan lama mulai direm untuk menabung bagi perjalanan liburan sekitar hari-hari cuti bersama Lebaran. Untuk tahun 2019, IPBT mencapai puncaknya pada bulan Februari, kemudian menurun pada bulan Maret dan kemudian mulai meningkat lagi hingga mencapai skor tertinggi pada bulan Juni bersamaan dengan bulan Lebaran.

Setelah itu masyarakat konsumen mengambil napas untuk beberapa bulan mengisi kembali pundi-pundi tabungannya. Setelah Juli, angka IPBT menurun kembali hingga akhirnya mencapai skor terendah di bulan Oktober. IPBT mengalami pemulihan cepat di bulan Nopember sehingga hampir mencapai indeks seperti di bulan Februari 2019.

Pemberitaan positif di media utama maupun media sosial tentang damai dagang dan peluang resesi yang semakin kecil, tampaknya mempunyai pengaruh pada perilaku ini.

Perilaku sisi produksi ditangkap PMI sebagai indikator awal perilaku investasi. Nilai di bawah 50 mencerminkan horison yang pesimis. Sebaliknya, semakin tinggi indeks hingga di atas 50, semakin tinggi optimisme tentang perekonomian ke depan.

Seiring dengan IPBT, bulan Mei 2019 mencatat PMI yang tertinggi sebesar 51,6, sebagai antisipasi potensi permintaan yang tinggi selama bulan Lebaran. Namun, untuk bulan-bulan berikutnya secara konsisten PMI terus menurun. Bulan Juli skornya sudah di bawah 50, kemudian mencapai titik terendah pada Oktober, yakni 47,4.

Pertumbuhan investasi yang menurun ke 4,21 persen di triwulan II-2019, dari 5,01 persen di triwulan sebelumnya, mencerminkan hal ini. Bulan Nopember 2019, sejalan dengan perkembangan IKK, PMI mengalami perbaikan ke 48,2. Walaupun skornya masih tetap di bawah 50, produsen tampaknya mulai bergerak ke zona optimis.

Menunggang Gelombang

Sebagaimana olahraga selancar, bagaimana prospek ekonomi tahun 2020 akan tergantung dari bagaimana pemerintah menggunakan dua triwulan pertama untuk mempertahankan momentum (riding the wave).

Penyelesaian undang-undang sapu jagat (omnibus law) untuk menurunkan hambatan bisnis dan investasi diharapkan dapat diselesaikan paling tidak pada triwulan II-2020, termasuk peraturan turunannya. Semakin cepat semakin baik untuk memanfaatkan siklus yang sedang bergerak ke atas. Manfaat lain adalah peningkatan kemudahan berusaha, peningkatan efisiensi investasi melalui penurunan besaran incremental capital output ratio (ICOR), dan perbaikan struktur ekonomi.

 

Dari periode 2014-2019, untuk menciptakan proses multiplier, pelajaran yang didapat agar pembangunan infrastruktur lebih optimal adalah dengan melibatkan lebih banyak sektor swasta. Rencana pemerintah membatasi peran anak dan cucu perusahaan BUMN akan meningkatkan peluang usaha swasta sehingga marginal propensity to invest meningkat. Rantai pasok baru akan terbentuk.

Dengan dua kombinasi itu, proses penggandaan daya beli masyarakat akan makin meningkat sehingga tak mustahil angka pertumbuhan 5,3 persen atau bahkan lebih dapat tercapai. Seperti yang dikemukakan dalam kolom ini sebelumnya, pertumbuhan tertinggi investasi riil sejak 2013 adalah 7,94 persen, terjadi pada triwulan III-2018. Untuk target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen per tahun, pertumbuhan investasi yang diperlukan adalah sekitar 9 persen per tahun.

Siklus pertumbuhan ke atas diperkirakan dimulai oleh pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan serta pengeluaran untuk hotel dan restoran di sisi konsumsi. Di sisi produksi, sektor jasa kesehatan dan sosial serta transportasi dan pergudangan akan mendahului pemulihan.

Sektor perdagangan akan menyusul yang kemudian diikuti sektor manufaktur ketika pembelian barang-barang tahan lama diperkirakan pulih pada triwulan I-2020. Pertumbuhan ekonomi mungkin akan melambat pada triwulan III setelah Lebaran karena masyarakat memerlukan waktu untuk mengakumulasi tabungan sampai ke tingkat yang dinginkan.

Sebagai kompensasi, pemerintah dapat kembali melakukan stimulus fiskal untuk mempertahankan momentum sampai siklus naik kembali pada akhir triwulan IV-2020.

Prof. Ari Kuncoro : Rektor Universitas Indonesia, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.