Ari Kuncoro : Kebijakan Perdagangan Strategis

Ari Kuncoro : Kebijakan Perdagangan Strategis

Suatu negara dengan pertimbangan kepentingan nasional dapat melakukan intervensi pada kebijakan investasi dan perdagangan internasional untuk kepentingan nasional.

Brander dan Spencer (1985) memperkenakan istilah strategic trade policy. Istilah ini kemudian digaungkan Paul Krugman (1986), dalam bukunya Strategic Trade Policy and the New International Economics. Inti dari gagasan ini, suatu negara dengan pertimbangan kepentingan nasional dapat melakukan intervensi pada kebijakan investasi dan perdagangan internasional untuk kepentingan nasional. Berlainan dengan kebijakan perdagangan yang biasa, kebijakan perdagangan strategis sering disebut juga sebagai kebijakan industry (industrial policy) karena mencoba mengubah struktur industri/perekonomian.

Sebelum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berdiri, Korea dan Taiwan merupakan contoh negara-negara yang secara aktif dan berhasil menggunakan kebijakan industri untuk mengubah struktur perekonomian. Rahasia keberhasilannya terletak pada kedisiplinan menentukan sasaran mengatur waktu dan giliran dari urut-urutan industri yang menjadi target, mulai dari industri ringan seperti pakaian jadi, perkapalan semi konduktor, hingga sekarang menjadi produsen terkemuka dari berbagai produk teknologi informasi. Bahkan, dengan keunggulan teknologi, sekarang juga merambah industri pariwisata dan hiburan yang bersaing dengan Holywood.

Perbedaan dari kedua negara tersebut pada skala perusahaan. Taiwan menekankan diri pada perusahaan-perusahan skala kecil dan menengah, sedangkan di Korea kongklomerasi masuk dalam sasaran kebijakan. Berdirinya WTO pada 1995 dan pembatasan penggunaan subsidi ekspor membatasi penggunaan kebijakan perdagangan strategis. Namun, hal ini tidak menyurutkan penggunaan kebijakan industri. Bentuknya bergeser dari penetapan skor unggulan ke arah fungsi penyiapan habitat, seperti pengembangan sumber daya manusia dan penelitian dan pengembangan pada sistim pendidikan tinggi menggunakan konsep triple helix. Kedua hal ini biasanya didahului perbaikan iklim usaha dan pembangunan infrastruktur fisik.

Pengalaman Indonesia
Di masa lalu, Indonesia memiliki cetak biru kebijakan perdagangan strategis. Namun, dalam perjalanan waktu, permasalahan utama adalah implementasi yang dilakukan pelaksana. Belum lagi, setiap kebijakan harus diterjemahkan sampai ke petunjuk teknis sebagai pedoman implementasi di lapangan.

Akibatnya, struktur industri Indonesia tidak mencerminkan rencana dalam cetak biru. Contohnya, dalam buku Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pernah dibayangkan Indonesia menjadi negara agribisnis yang menghasilkan mesin-mesin pertanian sendiri. Ada dua kejadian besar yang membuat struktur industri Indonesia seperti yang sudah direncanakan. Pertama, apresiasi mata uang yen Jepang pada pertengahan 1980-an yang memaksa Jepang merelokasi industrinya, terutama otomotif, ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kedua, bonanza komoditas pada 2004-2012 yang membuat Indonesia menjadi produsen terkemuka minyak sawit.

Jika melihat data survei industri terkini pada kategori 5 angka ISIC, pangsa ekspor terhadap ekspor manufaktur sebesar 14,5 persen. Sementara, otomotif, termasuk suku cadang, sebesar 34 persen. Kendati demikian, impor bahan baku dan setengah jadi tetap berkisar 75 persen dari total impor. Permasalahannya, rantai pasokan industri penghasil input industri untuk industri hilir tidak terbangun sebagai akibat dari ekonomi biaya tinggi akibat perizinan, logistik, dan skala operasi. Konsekuensinya, tekanan pada transaksi berjalan dan neraca dagang, terutama ketika sebagian besar sumber pertumbuhan berasal dalam negeri, seperti konsumsi masyarakat. Hal ini tidak menjadi masalah seandainya perekonomian lebih berorientasi ekspor. Bagi negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, yang diperlukan adalah keseimbangan antara orientasi ekspor dan dalam negeri.

Konsekuensinya, tekanan pada transaksi berjalan dan neraca dagang, terutama ketika sebagian besar sumber pertumbuhan berasal dalam negeri, seperti konsumsi masyarakat.

Perang dagang AS-China membuka kelemahan struktur industri Indonesia dalam bentuk tidak hanya defisit transaksi berjalan, tetapi juga defisit neraca dagang. Untuk mengatasinya diperlukan kombinasi antara perbaikan struktur industri, peningkatan surplus pendapatan sekunder dengan meningkatkan kualitas modal manusia, dan peningkatan surplus neraca perjalanan dengan mengembangkan tujuan wisata Bali baru.

Untuk memperbaiki struktur industri yang boros devisa, respons kebijakan pemerintah Indonesia merupakan modifikasi dari kebijakan industri yang memperbaiki habitat industri. Mulai dari pembangunan infrastruktur fisik, sumber daya manusia (SDM), hingga penguasaan rantai pasok. Sejarah mencatat bagaimana AS menggunakan industri otomotif, tambang bijih besi, dan tambang minyaknya melalui proses berganda membangun masyarakat kelas menengah yang menjadi fondasi keadidayaan mereka sekarang ini.

Transportasi, termasuk penggunaan kendaraan pribadi di masa depan, bergerak ke arah energi ramah lingkungan dan terbarukan. Seperti yang telah ditunjukan dalam Peraturan Pemerintah tentang kendaraan listrik, mesin dengan tenaga bateri akan menjadi dapur pacu di masa depan. Satu perkiraan menunjukkan, akan terjadi peningkatan eksponensial dari penggunaan kendaraan listrik. Saat ini kendaraan listrik hanya mengambil pangsa 5 persen dari penjualan kendaraan bermotor dunia. Pangsa ini diramalkan meningkat menjadi 40 persen pada 2030 dan 95 persen pada 2050. Ditandatanganinya PP Mobil Listrik memberi potensi industri otomotif sebagai lokomotif perekonomian dan sektor pengekspor di masa depan.

Nikel dan kobalt merupakan hasil tambang Indonesia yang menjadi elemen utama industri baterai mobil listrik. Penggunaan biofuel untuk mesin pembakaran internal berbasis disel termasuk dalam skenario ini. Untuk meningkatkan efisiensi antara mesin dan bobot, badan kendaraan dan sebagian suku cadang serta aksesoris akan berupa produk komposit berbasis petrokimia. Kebijakan penghentian sementara ekspor nikel dapat dilihat sebagai suatu sinyal reorientasi kebijakan perdagangan strategis.

Walaupun sebagian besar ekspor nikel Indonesia ke China, reaksi Uni Eropa terhadap kebijakan penghentian sementara ekspor nikel Indonesia tidak terlepas dari skenario masa depan untuk industri otomotif dunia. Bagi Uni Eropa, ancaman membawa masalah ini ke WTO merupakan kebijakan perdagangan strategis untuk mempertahankan perananannya dalam pasar otomotif dunia di masa depan. Namun, Indonesia juga mempunyai kepentingan nasional untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan yang selama ini menjadi kendala untuk tumbuh lebih tinggi. Larangan ekspor ini kemudian dicabut, yang dalam konteks Game Theory juga merupakan isyarat bahwa Indonesia terbuka untuk konsultasi atau negosiasi tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. Namun, eksportir harus memenuhi beberapa syarat, seperti standar kadar nikel, memiliki persetujuan ekspor, serta terkait dengan kemajuan pembangunan smelter.

Perang dagang AS-China tampaknya telah memecahkan telur. Kebijakan perdagangan strategis akan semakin sering digunakan setiap negara atau blok negara untuk merebut tempat di rantai pasokan dunia. Seperti dalam setiap kasus Game Theory, sikap pasif dan ewuh pakewuh tidak pernah memenangkan posisi optimal. Sebaliknya, kombinasi negosiasi dan gertakan balik dengan dosis yang seimbang akan membuat pihak seperti Uni Eropa dan lain-lain memperhitungkan semua konsekuensi dari semua strategi yang akan diambil. Hal ini akan memberi keseimbangan baru ala Nash yang lebih optimal bagi Indonesia.

 

Sumber : Harian Kompas, 10 Desember 2019