Turro S Wongkaren : Bonus Demografi, Upah Minimum, dan UU ”Omnibus”

Bonus Demografi, Upah Minimum, dan UU ”Omnibus”

Turro S Wongkaren Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dua isu ketenagakerjaan menjadi isu pembicaraan yang hangat belakangan ini: penetapan upah minimum dan rencana pengajuan ”omnibus law” tentang perluasan kesempatan kerja.

Banyak orang tak menyadari, kedua isu itu berhubungan dengan bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada periode 2020-2024. Pada periode itu, rasio penduduk usia produktif mencapai angka terbesar dibandingkan periode lainnya sehingga isu ketenagakerjaan menjadi sangat penting diperhatikan. Pada 2019, terdapat sekitar 137 juta angkatan kerja dan diperkirakan pada 2024 jumlah itu akan mencapai sekitar 152 juta orang.

Dengan tingkat pengangguran terbuka kita sedikit di atas 5 persen per tahun, setiap saat ada sekitar 6,5 juta penduduk Indonesia yang ingin bekerja tetapi tidak mendapatkan pekerjaan, baik karena pekerjaan yang ada tak sesuai harapan mereka maupun memang tak ada yang mempekerjakan mereka.

Sementara setiap tahun sekitar 2,2 juta orang memasuki pasar kerja dan butuh pekerjaan. Banyak di antara mereka penduduk usia muda yang baru pertama kali memasuki pasar kerja. Dapat atau tidaknya ketersediaan (supply) tenaga kerja ini diserap pasar kerja dipengaruhi upah dan permintaan (demand) dari perusahaan.

Upah minimum

Pemerintah (provinsi) menetapkan upah terendah yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja sebagai imbal jasa dari pekerjaan mereka. Hubungan upah minimum dan pengangguran terbuka di Indonesia cukup kompleks. Secara umum, upah minimum provinsi selalu meningkat. Namun, tingkat pengangguran terbuka tak menunjukkan tren yang tetap. Tingkat pengangguran di provinsi-provinsi di Jawa meningkat hingga sampai pertengahan dekade 2000-an, tetapi sejak saat itu terus menurun.

Berbagai penelitian juga menunjukkan hasil yang berlawanan: ada yang berdampak negatif (peningkatan upah minimum diikuti peningkatan tingkat pengangguran), tetapi ada pula yang positif (peningkatan upah minimum diikuti oleh pengurangan tingkat pengangguran) atau netral. Hal ini menunjukkan bahwa pengangguran mungkin tidak dipengaruhi oleh upah semata, tetapi juga oleh hal-hal lain.

Di Indonesia, sebagian penganggur adalah mereka yang mempunyai sumber daya cukup untuk (mampu) menganggur. Data karakteristik pencari kerja menunjang hal ini: sekitar dua pertiga pencari kerja sedikitnya tamat SMA/SMK.

Selain itu, semakin tinggi tingkat capaian pendidikan penganggur, semakin lama masa mencari pekerjaan dan semakin besar proporsi yang belum pernah bekerja sebelumnya. Rerata waktu mencari kerja lebih dari lima bulan, yang menunjukkan kemampuan mereka untuk hidup lebih daripada kemampuan banyak pekerja yang hanya mampu hidup paling lama 2-3 bulan bila kehilangan pekerjaan.

Dengan demikian, tingkat pengangguran tak sepenuhnya mencerminkan kesulitan hidup dari angkatan kerja karena kebanyakan penganggur justru punya sumber daya untuk hidup. Mereka baru mau bekerja kalau imbalan yang diterima mencapai nilai tertentu, yang di dalam ilmu ekonomi disebut reservation wage. Untuk penganggur dari kelompok ini, peningkatan upah minimum malah mungkin membuat mereka masuk ke pasar kerja. Kalau kelompok ini cukup besar, peningkatan upah minimum menurunkan tingkat pengangguran.
Dengan demikian, tingkat pengangguran tak sepenuhnya mencerminkan kesulitan hidup dari angkatan kerja karena kebanyakan penganggur justru punya sumber daya untuk hidup.
Sementara penelitian yang menunjukkan dampak negatif dari upah minimum memberikan gambaran berbeda untuk angkatan kerja berusia muda dan berusia tua. Ketika upah minimum meningkat, mereka yang berusia muda semata tak direkrut/dipekerjakan, sementara yang berusia tua akan lebih mungkin mengalami PHK. Hal ini didukung data BPS yang menunjukkan bahwa pekerja usia muda lebih mungkin kehilangan pekerjaan karena isu-isu yang berasal dari dalam diri mereka sendiri (misalnya pendapatan kurang memuaskan atau keahlian tak pas dengan pekerjaan), sementara pekerja usia tua lebih karena isu-isu dari luar (misalnya PHK).

Opsi untuk perusahaan

Tak jelasnya dampak upah minimum pada pengangguran tak berarti upah minimum tak punya dampak sama sekali. Kalau struktur biaya perusahaan sudah ketat, untuk mempertahankan keuntungan, mereka harus meningkatkan efisiensi. Untuk itu, perusahaan punya opsi: mengurangi tenaga kerja yang digunakan (baik melalui PHK maupun penurunan jam kerja), merelokasi bisnis ke wilayah yang mempunyai upah lebih kompetitif, atau, kalau akses ke teknologi memungkinkan, otomatisasi. Opsi pertama, PHK, tak mudah dilakukan secara formal.

Peraturan yang ada mensyaratkan berbagai hal yang harus dipenuhi bila suatu perusahaan ingin mem-PHK dengan alasan efisiensi, misalnya perusahaan itu harus merugi untuk waktu lama dan wajib memberi pesangon cukup besar. Ditambah kemungkinan harus berhadapan dengan serikat pekerja, ini membuat perusahaan, khususnya mereka dengan kondisi keuangan ketat, harus berpikir dua kali sebelum melakukan PHK.

Opsi kedua, relokasi bisnis, lebih mungkin dilakukan. Perusahaan akan memindahkan bisnisnya ke wilayah dengan struktur upah lebih rendah. Perusahaan bisa shopping daerah mana yang terbaik untuk mereka dengan mempertimbangkan upah, jarak, dan kualitas tenaga kerja dan input lain. Daerah dengan upah minimum rendah dan dibarengi kualitas pekerja yang sedikitnya sudah memenuhi persyaratan dasar keterampilan dari perusahaan itu akan mendapat keuntungan. Beberapa data mengindikasikan hal ini sudah terjadi.

Tentu saja, pemindahan lokasi tak terbatas pada pindah ke provinsi lain, tetapi memungkinkan juga ke negara lain yang kondisi ketenagakerjaannya (termasuk upahnya) lebih atraktif daripada Indonesia. Banyak perusahaan besar di bidang manufaktur yang membayar upah di Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal asing (baik murni maupun bekerja sama dengan pihak lokal). Tergantung apakah produksi di sini merupakan bagian dari global value chain mereka atau memang untuk pasar domestik. Kenaikan upah minimum dapat memengaruhi keputusan mereka untuk tinggal di Indonesia atau pindah.

Dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, upah minimum di Indonesia termasuk yang menengah. Upah minimum di Malaysia dan Thailand lebih tinggi dari kita (Singapura tak punya kebijakan upah minimum yang umum). Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam upah minimum secara rata-rata lebih rendah dari kita.

Hanya Filipina yang lebih kurang sepadan dengan kita. Tentu saja, tingkat upah yang rendah juga harus dibarengi produktivitas. Pengalaman baru-baru ini bisa menjadi petunjuk. Ketika 33 perusahaan hengkang dari China akibat perang dagang dengan AS, tak ada satu pun pindah ke Indonesia dan 23 pindah ke Vietnam.

Dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, upah minimum di Indonesia termasuk yang menengah.

Opsi ketiga, otomatisasi, dimungkinkan dengan makin majunya teknologi yang memungkinkan efisiensi. Perusahaan yang mengambil opsi ini tak harus mengurangi jumlah pekerja mereka sekarang. Mereka hanya perlu memindahkan pekerja yang ada ke pekerjaan lain di dalam perusahaan yang sama. Hanya saja, mereka juga tak akan merekrut pekerja baru sehingga mempersempit kesempatan kerja para pekerja muda. Hal ini didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa para pekerja muda inilah yang menerima dampak negatif terbesar dari upah minimum.

Dalam jangka menengah dan panjang, pelan-pelan perusahaan akan menggunakan teknologi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia. Beberapa estimasi menunjukkan sekitar 60 persen pekerja Indonesia berpotensi mendapat dampak dari otomatisasi di masa depan. Semua itu terjadi tanpa perusahaan melanggar peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Dihadapkan pada kondisi itu, bagaimana kita menciptakan lapangan kerja? Pertama-tama perlu diingat bahwa walaupun peraturan upah minimum secara hukum mengikat semua perusahaan, pada kenyataannya upah minimum lebih ditaati oleh perusahaan yang formal, dan diterapkan lebih kepada mereka yang bekerja sebagai karyawan/buruh/pegawai. Artinya, kenaikan upah minimum tak akan dinikmati oleh sebagian besar pekerja di Indonesia. Upah pekerja di sektor pertanian, misalnya, yang masih sekitar sepertiga dari pekerja kita, tak akan terpengaruh kenaikan upah minimum. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesempatan kerja, kita perlu melihat tidak hanya mereka yang langsung terpengaruh oleh upah minimum, dan mereka yang pada kenyataannya tak terlalu terpengaruh secara langsung.

Beberapa estimasi menunjukkan sekitar 60 persen pekerja Indonesia berpotensi mendapat dampak dari otomatisasi di masa depan. Semua itu terjadi tanpa perusahaan melanggar peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Pertama, untuk mereka yang terpengaruh secara langsung. Dengan upah minimum yang terus meningkat, perusahaan perlu diberi cara lain agar bisa menyerap kenaikan tahunan upah minimum dan tak terpaksa mengambil opsi yang kontra produktif untuk perluasan lapangan kerja. Caranya dengan memberi insentif pajak dan menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan birokrasi dan lainnya. Mengacu pada aspek-aspek yang terdapat pada ease of doing business Bank Dunia, seorang ekonom menyebutkan tiga biaya berkaitan dengan birokrasi yang perlu segera diturunkan: biaya untuk memulai bisnis, biaya perizinan untuk konstruksi, dan biaya registrasi properti. Dalam ketiga aspek ini, Indonesia mendapatkan skor paling rendah dalam laporan 2020. Diharapkan, dengan berkurangnya biaya-biaya tersebut, perusahaan mampu mengakomodasi kenaikan tahunan upah minimum.

Kedua, untuk mereka yang tak terpengaruh langsung oleh upah minimum karena mereka bekerja di usaha yang berskala mikro dan kecil (UMKM) atau jenis usaha yang cenderung informal, perlu diberdayakan dengan memberikan pelatihan yang tepat. Menurut Sensus Ekonomi, UMKM di Indonesia berjumlah sekitar 26 juta atau 98,7 persen dari seluruh usaha di Indonesia, dengan jumlah pekerja 59,3 juta orang atau 75 persen dari seluruh pekerja. Sementara itu, usaha menengah dan besar 349.000 usaha dengan mempekerjakan 19,4 juta orang atau seperempat dari seluruh pekerja di Indonesia. Dari data ini jelas bahwa perluasan kesempatan kerja tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan UMKM.

Masalahnya, tak semua orang punya bakat atau kemampuan untuk jadi wirausaha yang berhasil. Penelitian menunjukkan wirausaha yang berhasil punya karakteristik khusus, baik secara keterampilan maupun psikologis; misalnya lebih adaptif terhadap perubahan, dan resilien. Untuk menunjang UMKM selain upaya kredit juga perlu diberikan pelatihan yang tepat di berbagai institusi seperti BLK atau yang dikelola oleh swasta/LSM. Untuk itu, mereka perlu kemampuan untuk mengidentifikasi mana calon trainee yang lebih tepat untuk wirausaha, dan mana yang lebih tepat untuk sebagai pegawai/buruh, karena kebutuhan pelatihan mereka berbeda. Diharapkan, dengan pelatihan yang sesuai, UMKM dapat berkelanjutan.

Masalahnya, tak semua orang punya bakat atau kemampuan untuk jadi wirausaha yang berhasil. Penelitian menunjukkan wirausaha yang berhasil punya karakteristik khusus, baik secara keterampilan maupun psikologis; misalnya lebih adaptif terhadap perubahan, dan resilien.

Tampaknya secara umum pemerintah sudah memikirkan hal ini. Di akhir Oktober lalu, melalui akun Twitter-nya, Presiden Jokowi mengajak DPR menuntaskan dua UU yang seakan terpisah tetapi sangat berhubungan: UU tentang Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Keduanya perlu menjadi bagian dari UU omnibus tentang perluasan kesempatan kerja bila kita tidak ingin bonus demografi berubah menjadi bencana demografi.

(Turro S Wongkaren Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)

Sumber : Harian Kompas 07 Desember 2019