Budi Frensidy: Bijak dan Hati-Hati Mengelola Dana Institusi

0

Budi Frensidy: Bijak dan Hati-Hati Mengelola Dana Institusi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Berdasarkan rilis tulisan yang dimuat di koran Kontan (2/12) kolom Wake-Up Call, Budi Frensidy selaku Staf Pengajar FEB UI menulis bahwa empat tahun lalu kita kaget membaca dana pensiun (dapen) Pertamina memegang saham SUGI hingga Rp700 miliar. Dengan investasi sebesar ini, dapen yang mengelola dana sekitar Rp9 triliun saat itu, sebanyak 30% dalam saham, mempunyai wakilnya di jajaran direksi dan dewan komisaris emiten tersebut.

Kita heboh bukan karena dapen ini menguasai sampai 8,1 persen emiten energi ini, tetapi lebih karena transaksi harian saham ini hanya Rp15,3 miliar dan SUGI juga tidak masuk dalam kelompok 45 saham terlikuid. Rule of thumb investor saham di bursa adalah memiliki saham-saham likuid maksimal lima kali nilai transaksi hariannya.

Hingga tahun ini, kasus dapen besar dengan saham utama SUGI di atas masih terus jadi bahan gunjingan dan pemberitaan koran. Maklum saja, saham ini beberapa kali disuspensi dan harganya terjun bebas dari Rp400-an di akhir tahun 2015 menjadi hanya Rp50 sejak Agustus 2017 hingga hari ini. Kita pun kemudian mendengar vonis pidana untuk direktur utama dapen dan pemegang saham mayoritas emiten di atas.

“Sebuah perusahaan asuransi jiwa besar dananya juga pernah nyangkut Rp1 triliun lebih dalam dua saham dari sebuah grup yang harganya terus turun. Dengan kepemilikan sebanyak 2 miliar lebih saham sejuta umat dekade lalu pada harga Rp400, silakan Anda hitung sendiri kerugian yang diderita ketika harga saham berada di Rp65 Jumat lalu. Selain memiliki saham ini, perusahaan asuransi ternama ini masih memiliki satu miliar saham lain di grup yang sama yang harganya juga anjlok dalam,” ungkap Budi Frensidy.

Kerugian ratusan miliar dua investor kakap di atas ternyata belum apa-apa dibandingkan dengan yang dialami PT Asuransi Jiwasraya. Ekuitas BUMN ini negatif Rp23,9 triliun dan masih harus melakukan impairment aset Rp6,2 triliun serta setoran dana untuk memenuhi ketentuan minimum RBC (risk-based capital) 120% sebesar Rp2,9 triliun. Totalnya diperlukan Rp32,9 triliun dan jika ditambah kebutuhan untuk solvabilitas, angkanya lebih fantastis lagi yaitu menjadi Rp49 triliun.

“Mirip dengan pengelolaan dapen bermasalah di atas, Jiwasraya juga tidak menerapkan prinsip kehati-hatian untuk investasinya. Dari total aset finansialnya, sebanyak 22,4% atau Rp5,7 triliun berisi saham dan 59,1% atau Rp14,9 triliun dalam bentuk reksadana. Sampai di sini belum ada yang mencurigakan,” tuturnya.

Namun jika kita bedah isi masing-masing kelas aset itu, ketidakwajaran akan terkuak. Dalam portofolio saham, ternyata hanya lima persen saham LQ-45. Sementara reksadana yang dimiliki hanya 2% yang pengelolanya adalah manajer investasi top tier dari 13 manajer investasi yang bermitra. Sejatinya, pengelola bukan top tier tidak jadi masalah selama ada pedoman tata kelola dan manajemen risiko yang jelas untuk penyusunan portofolio, strategi pemilihan saham, dan kebijakan trading-nya.

Yang terjadi, sepertinya tidak ada panduan itu. Sejumlah reksadana justru dibuat khusus untuk menampung/mengambil di pasar negosiasi (pada harga di atas harga perolehan) saham-saham kemahalan (overpriced) yang telah dibeli Jiwasraya. Reksadana ini kemudian dibeli lagi oleh Jiwasraya. Aksi ini tidak lain hanyalah memindahkan saham rugi dari portofolio saham ke portofolio reksadana untuk mendandani kinerja portofolio saham tetapi menyimpan boroknya di portofolio reksadana. Dilihat dari total portofolio, ini bukan tindakan penyelamatan tetapi hanya transaksi gali lubang tutup lubang.

Untuk mencegah rekayasa keuangan seperti ini terulang lagi, OJK per 6 September 2019 menerbitkan surat edaran yang melarang manajer investasi menerbitkan reksadana yang ditujukan untuk melakukan pembelian efek dari calon atau pemegang unit penyertaan. Akibat dari kasus ini, OJK juga meningkatkan pengawasan terhadap 689 reksadana dengan investor tunggal, dengan total nilai Rp190,82 triliun, baik yang portofolionya berisi satu efek maupun lebih dari satu efek.

Akrobat korporasi di atas diperparah dengan ditawarkannya produk JS Savings Plan yang memberikan jaminan return 9%-13% p.a. oleh perusahaan ini melalui bancassurance selama tahun 2013-2018. Return sebesar ini jauh di atas suku bunga deposito yang 5%-7% dan masih lebih besar dari yield obligasi berperingkat single A yang 9,5% sehingga dana mesti ditempatkan dalam saham. Bank-bank penjual produk ini pun terkena imbasnya. Reputasinya tercemar saat produk ini gagal bayar klaim yang jatuh tempo.

Jika return tahunan pasar atau IHSG berada di atas 13%, produk dengan return pasti setinggi ini mungkin tidak akan menggerus ekuitas. Namun, ekuitas akan tertekan hingga akhirnya negatif ketika IHSG kita rata-rata hanya tumbuh 5,36% dalam kisaran -11,86% hingga +26,36% per tahun selama periode enam tahun itu. Hanya tiga tahun return pasar positif yaitu 11,69% (2016), 22,02% (2017), dan 26,36% (2014). Tiga tahun lainnya, return IHSG negatif yaitu -1% (2013), -8,96% (2018), dan -11,86% (2015).

“Kesimpulannya, investor institusi sebaiknya fokus pada saham perusahaan bagus yang likuid, berkapitalisasi besar, dan berkinerja konsisten baik. Sangat disayangkan jika dana institusi banyak nyangkut di satu-dua saham yang likuiditasnya sangat terbatas. Perusahaan asuransi dan manajer investasi jangan sekali-kali menawarkan produk dengan jaminan return pasti tetapi berbasis ekuitas atau memegang satu saham lebih dari 10% total portofolio,” jelasnya.

Lanjut dia, konsekuensinya adalah perusahaannya bangkrut (ekuitas negatif), rugi sangat besar, suspensi penjualan reksadana, hingga reksadana dibubarkan OJK seperti sejumlah reksadana belum lama ini. Sami mawon dengan dapen dan perusahaan asuransi di atas, banyak saham tidak likuid dipegang dalam persentase besar reksadana-reksadana bermasalah itu seperti FORZ, TGRA, DFAM, SKYB, BOSS, KJEN, ZINC, DUCK, MINA, KPAL, dan MTPS. (Des)

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 2 Desember 2019. Kolom Wake-Up Call. Halaman 4