Kiki Verico: Indonesia Harus Belajar dari Negara Maju untuk Perbaiki Current Account Deficit (CAD)

Kiki Verico: Indonesia Harus Belajar dari Negara Maju untuk Perbaiki Current Account Deficit (CAD)

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Menjaga level aman defisit neraca transaksi berjalan masih menjadi salah satu pekerjaan rumah besar. Apalagi pada kuartal II 2019 lalu, Current Account Deficit (CAD) tercatat kembali melebar sebesar 3,04% dari rasio defisit terhadap PDB.

Apabila Current Account Deficit (CAD) tertekan maka cadangan devisa bisa terpengaruh. Namun, ada satu komponen penting yaitu capital account. Modal asing dalam bentuk portofolio, bonds, saham yang masuk ke Indonesia masih dirasa aman. Yang mesti diperbaiki ialah sisi jangka panjang terhadap ekspor agar tidak berketergantungan pada raw materials, sehingga kita bisa masuk ke dalam level industri menengah.

“Neraca transaksi berjalan di Indonesia sejak 2012 mengalami tekanan cukup signifikan, karena masih ketergantungan pada ekspor terhadap barang dengan kategori migas & mineral, produk primer (palm oil, karet) yang harganya dipengaruhi oleh harga minyak,” ucap Kiki Verico selaku Wakabid Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dalam acara Hot Economy di Berita Satu TV “PR Besar Perbaiki CAD”, pada Senin (14/102019).

Selain itu, ekspor juga bergantung pada impor sebesar 65% yang terdiri dari mesin dan bahan baku. Maka, segi ekspor & impor yang terjadi di Indonesia saling berhubungan dan berkaitan, sehingga tidak mudah mengurangi impor.

Impor konsumsi Indonesia sekitar 10% – 20%. Hal ini menyebabkan terjadinya tekanan. Selain itu, industri yang tumbuh di Indonesia kurang dari total pertumbuhan perekonomian Nasional. “Maka, harus ditingkatkan lagi ekspor ke produk pengolahan yang bersifat jangka panjang. Sementara, pada sektor manufaktur dan pariwisata bisa lebih digenjot untuk memajukan perekonomian,” jelasnya.

Perang dagang AS-Tiongkok masih akan mengganggu kinerja ekspor dan mempengaruhi gravitasi dari perekonomian dunia. Mengingat, Amerika Serikat menguasai 25% GDP dunia dan Tiongkok 15% GDP dunia dari perang dagang ini. Production network di antara kedua negara tersebut berpengaruh kepada negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena sebagian besar raw materials negara kita mengekspor ke Tiongkok.

Pada kenyataannya, defisit pendapatan primer biasa terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. “Opsi dalam meminimalisir hal tersebut bahwa kita harus melakukan investasi ke luar negeri untuk mendapatkan investment income, remiten, dan ekspor dari negara tersebut. Sementara, investment income yang kita bayarkan termasuk di dalamnya ialah pendapatan investor, cicilan bunga & hutang,” ujarnya.

“Walaupun, kita kalah bersaing dengan negara-negara lainnya dalam hal perang dagang, namun ada hal menarik bahwa hasil produk Usaha Kecil & Menengah (UKM) bisa dimanfaatkan untuk di ekspor selama dibantu oleh pemangku kebijakan seperti menemukan pasar input maupun output, perjanjian bilateral dengan negara lain, dan mitigasi dalam pencatatan keuangan yang dikelola dengan baik,” tuturnya.

Sementara itu, kita juga bisa meningkatkan sektor jasa terutama tourism untuk pendukung pariwisata seperti infrastruktur, transportasi, penerbangan. Sehingga, kontribusi wisatawan meningkat dan tidak adanya lagi pemikiran tentang tergerusnya defisit dalam hal transportasi pariwisata maupun lainnya.

“Ke depannya, kita harus memperkuat dari sisi domestik, mendukung kehadiran e-commerce/platform, dan fintech untuk terlibat dalam perekonomian yang nantinya akan mendunia. Seperti halnya, Taiwan yang merupakan negara yang usahanya kecil-kecil, namun mereka bisa membuat chips komputer maka mereka terkenal dengan penghasil motherboard di dunia. Indonesia harus bisa meniru keberhasilan Taiwan yang UKM nya inovatif dan going global,” tutupnya. (Des)