Turro S. Wongkaren: Pemindahan Ibu Kota Baru Indonesia Harus Mencontoh Negara yang Sukses

Turro S. Wongkaren: Pemindahan Ibu Kota Baru Indonesia Harus Mencontoh Negara yang Sukses

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan provinsi Kalimantan Timur terpilih sebagai lokasi pemindahan ibu kota Indonesia yang baru menggantikan DKI Jakarta. Secara keseluruhan dari sisi sosial daerah Kalimantan yang paling memungkinkan berada di Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi ibu kota baru ini, berada sebagian di kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di kabupaten Kutai Kartanegara.

Pemindahan ibu kota tersebut disebabkan oleh beban Jakarta yang dinilai sudah berat karena diposisikan sebagai pusat sejumlah aktivitas & polusi udara. Selain itu, beban Pulau Jawa semakin berat dengan masalah kepadatan penduduk. Namun, memindahkan ibu kota negera bukanlah pekerjaan mudah, karena butuh waktu yang lama, tidak hanya setahun ataupun dua tahun.

“Butuh lima atau sepuluh tahun untuk tahap awal pemindahan. Proses pemindahan pun hingga benar-benar efektif akan banyak hal yang terjadi dan perlu diwaspadai bersama. Data statistik menunjukkan bahwa secara keseluruhan jumlah penduduk Kalimantan Timur sebesar 3,5 juta jiwa. Sementara di dua kabupaten tersebut 600-700 ribu jiwa dan lainnya hanya 200 ribu jiwa,” ucap Turro Selrits Wongkaren (Kepala Lembaga Demografi FEB UI) sekaligus narasumber dalam acara Metro Pagi PrimeTime di Metro TV, Selasa (27/8/2019).

Dalam hal ini, perlu kajian secara mendalam dalam waktu yang tidak cepat. Para ahli arsitek dan regional planning menyiapkan kajian tentang fisik atau karakteristik terhadap bangunan/gedung. Sementara itu, kajian dari sisi pendanaan juga menjadi hal paling utama. Anggaran pendanaan untuk pindah ibu kota membutuhkan sekitar 19% dari APBN. Sisanya dari KPBU, investasi swasta, BUMN sebesar Rp466 Triliun.

Kajian lainnya, Provinsi Kalimantan Timur dijadikan ibu kota, yaitu penduduk lokal di sana sudah terbiasa dengan pendatang, baik dari dalam maupun luar negeri. Melihat dari struktur demografi yang heterogen dan mayoritas pendatang, saya pikir ini pilihan terbaik. Di sisi lain, bila dilihat dari komposisi suku di Kalimantan Timur secara umum diduduki oleh suku Jawa, lalu Bugis serta Banjar.

“Selain itu, Kabupaten Penajam Paser Utara dipilih dengan alasan bahwa penduduknya rata-rata dari suku Jawa. Kemudian, Kabupaten Kutai Kartanegara dipilih dengan alasan penduduknya didominasi oleh suku Banjar atau suku Kutai nya sendiri. Artinya, walaupun memang ada sedikit perubahan, namun mereka terbiasa dengan penduduk yang sudah heterogen. Maka, secara historis daerah tersebut dipilih karena minim terjadinya gesekan konflik sosial akibat pendatang berbondong-bondong datang ke sana,” jelas Turro.

Menurut rencana pemerintah bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipindah tugaskan ke sana sekitar 1,5 juta beserta keluarganya atau apabila diringkas menjadi 870 ribu penduduk. Melihat kedua kabupaten ini yang masih besar didominasi oleh agri culture atau secara khusus ialah tambang, pertanian. Pegawai ASN yang dipindahkan tersebut tentu mempunyai gaya dan cara hidup berbeda.

Namun, yang menjadi perhatian serius pemerintah ialah penolakan ASN yang tidak mau dipindah tugaskan. Hal ini, selaras dengan banyak kajian yang mengatakan ada banyaknya ASN yang menolak dipindahkan.

“Solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah dengan cara membangun dan mendirikan ibu kota lebih menarik dengan didukung sarana-prasarana. Solusi lainnya, untuk warga asli sana harus diberikan edukasi/pendidikan secara matang untuk menjadikan SDM yang unggul, kompeten, dan berintegrasi. Jangan sampai ada warga asli sana yang terpinggirkan seperti Betawi versi 2 di Jakarta. Apalagi, di kabupaten Kutai Kartanegara terdapat Sultan yang mengandung kaya akan history, maka perlu diperhatikan keterlibatan warga sekitarnya,” ungkapnya.

Sebagai contoh pemindahan ibu kota yang gagal berada di daerah Naypyidaw, Myanmar. Kegagalan tersebut dalam hal, latar belakang pemindahan ibu kota Myanmar tidak diketahui, tidak ada pengumuman resmi dari pemerintah setempat. Selain itu, Naypyidaw disebut sebagai ghost city, karena jumlah penduduk sangat sedikit tidak sebanding dengan luas yang dimiliki. Destinasi wisata, jalan raya, dan pusat perbelanjaan tampak kosong seperti tidak berpenghuni. Dan pegawai ASN tidak mau dipindahkan dengan alasan tidak boleh membawa sanak-keluarga.

Sedangkan, pemindahan ibu kota yang berhasil dan sukses berada di daerah Islamabad, Pakistan. Salah satu kesuksesan negara tersebut ialah menempelkan pembangunan ke kota terdekat yang sudah ada. “Maka, pemerintah Indonesia harus belajar dari negara Pakistan bahwa pembangunan pemindahan ibu kota baru Indonesia harus menempel dengan kota terdekat yang sudah ada,” tutupnya. (Des)