Ari Kuncoro Tanggapi Antisipasi Ekonomi Indonesia Terhadap Dampak Perang Dagang dan Industri 4.0

Ari Kuncoro Tanggapi Antisipasi Ekonomi Indonesia Terhadap Dampak Perang Dagang dan Industri 4.0

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menjadi Pembicara dalam seminar nasional dalam bentuk diskusi panel di forum kegiatan Silaturahim Nasional Ikatan Alumni Universitas Andalas dengan topik “Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Mengantisipasi Perang Dagang dan Dinamika Revolusi Industri 4.0” yang berlangsung di Hotel Garuda, Medan, Sumatera Utara, pada Sabtu (6/7/2019).

Beberapa bulan yang lalu, di dalam negeri ada pemilihan umum serentak yang menjadi salah satu milestone pembangunan Indonesia ke depan. Di bidang ekonomi dan perdagangan dunia, perang dagang AS dan Cina yang kembali memasuki babak baru telah menyita perhatian negara-negara di dunia karena potensi dampaknya tidak hanya terhadap perekonomian global, tetapi juga terhadap perekonomian domestik termasuk Indonesia.

Harapan bahwa perdagangan dunia sudah akan pulih sebenarnya mulai terlihat dari mikrokosmos ekspor-impor Indonesia yang masih mengandalkan siklus komoditi dan siklus bisnis negara-negara maju. Surplus neraca perdagangan yang sehat bagi Indonesia terjadi pada bulan Maret 2019 ketika baik ekspor maupun impor sama-sama naik di mana pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari pertumbuhan impor.

Ekspor hasil-hasil pertambangan dan produk-produk manufaktur masing-masing naik sebesar 31,08 dan 9,48 persen. Sementara itu ekspor industri pertanian tumbuh sebesar 15,91 persen. Kesemuanya ini memberikan kesan bahwa siklus komoditi dan siklus bisnis sudah berbalik arah memberikan angin segar ke ekspor Indonesia yang dari sejak triwulan IV 2017 mengalami penurunan kinerja. Harapan tersebut sirna ketika perang dagang AS-Tiongkok pecah kembali.

“Tiongkok sudah mengantisipasinya dengan mengurangi pembelian globalnya yang berakibat pada turunnya harga sawit dunia. Ekspor minyak hewan/nabati Indonesia yang didominasi oleh minyak sawit untuk bulan April 2019 langsung anjlok sebesar 19,88 persen y.o.y padahal volumenya meningkat sebesar 5 persen. Secara keseluruhan ekspor turun 10,8 persen y.o.y,” ucap Ari Kuncoro sebagai Dekan FEB UI.

Sementara itu impor juga turun akan tetapi tidak setajam ekspor sebesar 6,58 persen y.o.y. Sebagai akibatnya neraca dagang mengalami defisit pada bulan April 2019 sebesar 2,5 miliar dolar yang terbesar sejak Juli 2013 sebesar 2,3 miliar dolar.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah jangka pendek yang dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan devisanya untuk meredam fluktuasi Rupiah. Pelemahan Rupiah dapat digunakan untuk mendorong subsitusi ekspor dari komoditi seperti minyak sawit ke jasa-jasa.

Di neraca jasa ada surplus signifikan yang dapat digunakan paling tidak untuk mengurangi tekanan pada Rupiah yaitu neraca perjalanan dan pendapatan sekunder walaupun tetap tidak cukup untuk menutup seluruh defisit. Dalam hal pendapatan sekunder, bank-bank BUMN terutama yang mempunyai jaringan di luar negeri dapat digunakan untuk menyalurkan atau memutarkan remittance di kantong-kantong tenaga kerja Indonesia diluar negeri.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, selain menyelesaikan masalah ekonomi biaya tinggi yang menghambat ekspor, struktur industri perlu diperkuat untuk segmen industri subsitusi impor bahan baku, barang setengah jadi untuk industri hilir yang selama ini mengambil porsi 75 persen dari impor total.

Maka akan tercipta struktur neraca pembayaran yang lebih sehat yang tidak terlalu bergantung pada siklus ekspor komoditi dan keluar masuknya arus modal jangka pendek. Kesempatan juga terbuka bagi Indonesia untuk menampung rantai pasokan hi-tech yang ingin melakukan relokasi. Yang dibutuhkan adalah kawasan industri one-stop service berpelabuhan di jalur maritim perdagangan dunia.

“Karena itu, para investor akan nmelakukan penyeimbangan (balancing) portfolio mereka dari yang tadinya berbondong ke AS akibat prospek eskalasi perang dagang antara AS danTiongkok mulai berbalik kembali ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia,” tambahnya.

Sementara itu, revolusi industri 4.0 yang ditandai oleh berbagai disrupsi yang di-drive terutama oleh teknologi memaksa manusia, negara dan kawasan untuk beradaptasi bila tidak ingin tergilas dan tertinggal. Dari sisi perekonomian, kelemahan struktur ekonomi Indonesia di sektor jasa dan di Industri penghasil barang masukan (input) dan setengah jadi untuk industri hilir juga dapat dianalogikan dengan masalah pasar yang hilang. Pasar yang hilang ini diisi oleh arus modal masuk jangka pendek yang naik turun dan keluar masuknya mempengaruhi nilai tukar Rupiah.

Mengatasi masalah pasar yang hilang dapat juga dilakukan dengan membuat kebijakan yang dianggap kredibel (disepakati) oleh berbagai kelompok kepentingan (time consistency). Setiap kebijakan perencanaan dan implementasi kebijakan merupakan interaksi dari berbagai kelompok kepentingan khususnya pemerintah dan pihak yang berpotensi terkena dampak kebijakan.

“Untuk itu, pemerintah harus dapat bergerak mendahului ekspektasi (moving ahead of the curve atau expectation realignment) dengan ekspektasi dari berbagai kelompok kepentingan sudah selaras (time consistency). Pemerintah maupun sektor swasta memerlukan unit-unit pemantau yang mempunyai kemampuan data analytic menggunakan data real time yang tersedia dalam bentuk big data,” jelasnya.

Tujuannya untuk dapat mendeteksi benih-benih ekspektasi yang berkembang di masyarakat, jika diperlukan melakukan tindakan awal (pre-emptive) memberi informasi untuk menuntun ekspektasi dan membedakan antara yang benar dengan kabar burung (hoax).

Unit-unit seperti ini harus diisi oleh sumber daya manusia (SDM) yang memiliki daya nalar kuantitatif (matematika), verbal, inovatif, memecahkan masalah, melihat ke depan dan mampu bekerja sama dalam kelompok. SDM seperti inilah yang harus dihasilkan oleh sistem pendidikan nasional. Kredibilitas dari kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dengan meningkatkan kualitas pendidikan akan lebih kredibel jika dikaitkan dengan usaha memperkuat neraca jasa.

“Akreditasi dan jaminan kualitas pembelajaran (assurance of learning), riset dasar dan terapan, jalur karir yang transparan, kolaborasi dengan universitas-universitas bereputasi, penggunaan teknologi informasi dalam perencanaan dan pembelajaran, kurikulum yang relevan dengan dunia kerja dan otonomi merupakan kunci keberhasilan kebijakan peningkatan kualitas SDM yang kredibel,” tutupnya. (Des)