Ari Kuncoro : Menyikapi Perang Dagang AS-Tiongkok Jilid 2

Menyikapi Perang Dagang AS-Tiongkok Jilid 2

Ari Kuncoro

Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Trembling hand equilibrium

Istilah di atas merujuk pada salah satu kasus Teori Permainan (Game Theory) di mana suatu keseimbangan yang dipandang optimal gagal tercapai karena pihak-pihak yang terlibat terlalu berlebihan dalam berstrategi (overplaying) dan terlalu percaya diri (over confidence). Trump mengumumkan kenaikan tarif atas produk-produk Tiongkok ketika hampir semua orang percaya bahwa kesepakatan sudah hampir tercapai. Perjanjian damai dagang AS-Tiongkok yang sudah di depan mata berubah menjadi perang dagang jilid 2 (sequel). Semula, pesan tweeter Presiden Trump bahwa kedua negara tersebut akan mencapai kompromi dan juga data makroekonomi AS dan Tiongkok yang prospektif, telah menggiring ekspektasi dunia menuju zona positif.  Berita-berita positif tersebut ternyata menyembunyikan perbedaan mendasar antara AS dan Tiongkok. Hal ini tercermin dari kasus raksasa teknologi Tiongkok Huawei yang akses pasar untuk teknologi 5Gnya dihambat di AS. Inti permasalahan bagi AS adalah perebutan supremasi teknologi. Perusahaan-perusahaan AS yang berlokasi di Tiongkok selama ini dipandang harus melakukan alih teknologi. Hal ini dipersepsikan sebagai forced spillover yang turut membangun technological know-how yang dimiliki Tiongkok sekarang ini, tanpa ada kompensasi akses pasar yang sepadan untuk korporasi AS.

Dampak terhadap Indonesia

Harapan bahwa perdagangan dunia sudah akan pulih sebenarnya mulai terlihat dari mikrokosmos ekspor-impor Indonesia yang masih mengandalkan siklus komoditi dan siklus bisnis negara-negara maju. Surplus neraca perdagangan yang sehat bagi Indonesia terjadi pada bulan Maret 2019 ketika baik ekspor maupun impor sama-sama naik di mana pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari pertumbuhan impor. Ekspor hasil-hasil pertambangan dan produk-produk manufaktur masing-masing naik sebesar 31,08 dan 9,48 persen. Sementara itu ekspor industri pertanian  tumbuh sebesar 15,91 persen. Kesemuanya ini memberikan kesan bahwa siklus komoditi dan siklus bisnis sudah berbalik arah memberikan angin segar ke ekspor Indonesia yang dari sejak triwulan IV 2017 mengalami penurunan kinerja. Harapan tersebut sirna ketika perang dagang AS-Tiongkok pecah kembali.

Tiongkok sudah mengantisipasinya dengan mengurangi pembelian globalnya yang berakibat pada  turunnya  harga  minyak  sawit  dunia.  Ekspor minyak  hewan/nabati  Indonesia  yang didominasi oleh minyak sawit untuk bulan April 2019 langsung anjlok sebesar 19,88 persen y.o.y padahal volumenya meningkat sebesar 5 persen. Secara keseluruhan ekspor turun 10,8 persen y.o.y. Sementara itu impor juga turun akan tetapi tidak setajam ekspor sebesar 6,58 persen y.o.y. Sebagai akibatnya neraca dagang mengalami defisit pada bulan April 2019 sebesar 2,5 milyar dolar yang terbesar sejak Juli 2013 yaitu sebesar 2,3 milyar dolar.

Defisit neraca dagang adalah dashboard bagi pemodal jangka pendek untuk keluar masuk suatu negara. Defisit neraca dagang pada skala ini turut menambah tekanan pada Rupiah. Ada dua fase pelemahan nilai tukar Rupiah sejak awal Maret 2019 sampai sekarang. Pertama pada bulan Maret 2019 adalah sebagai akibat dari kenaikan indeks mata uang dolar AS terhadap semua mata uang sebagai akibat penguatan ekonomi AS yang membawa kurs Rupiah ke sekitar Rp 14300 per dolar AS. Fase kedua terjadi pada minggu terakhir April sampai pertengahan Mei 2019, adalah sebagai akibat keluarnya modal jangka pendek dari Indonesia sebagai reaksi atas defisit neraca perdagangan. Rupiah tertekan hingga sempat menyentuh Rp 14500 per dolar AS. BI mencatat dana asing yang keluar pada tanggal 13-16 Mei 2019 adalah Rp 11 trilun yang terdiri dari Rp 7,6 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 4,1 triliun di pasar saham.

Sampai kapan?

Asalkan rasional, berapa lama perang dagang ini akan berlangsung tergantung dari kapan kerugian bersama (collective loss) terealisasi. Semakin cepat dan semakin besar kerugiannya akan semakin tinggi dorongan bagi kedua belah pihak untuk tidak melakukan eskalasi menuju kehancuran bersama (mutually assured destruction=MAD). Beberapa faktor masih memberi harapan bahwa paling tidak akan terjadi gencatan senjata (truce) dalam waktu yang tidak terlalu lama. Korporasi Baidu di Tiongkok misalnya merupakan marketplace untuk pemasangan iklan online mengalami kerugian untuk pertama kalinya dalam 15 tahun. Saham- saham teknologi dalam Chinext Index of Technology turut anjlok. Penjualan ritel untuk bulan April lalu tercatat 7,2 persen yaitu yang terendah dalam 16 tahun terakhir ini. Produksi barang-barang manufaktur dan investasi juga melemah. Pelemahan Yuan sebesar 2,7 persen sejak tarif diumumkan juga berpotensi menimbulkan pelarian modal.

Di AS sendiri, yang sudah terlanjur yakin bahwa damai dagang akan tercapai, pasar saham bereaksi cepat. Indeks DOW futures turun 467 poin, sementara S&P 500 anjlok 37 poin dan NASDAQ terkoreksi sebesar 140 poin. Sejauh ini di sektor riel belum tampak dampaknya karena kebanyakan survei dilakukan di bulan April lalu. Perkiraan awal, sektor pertanian akan melanjutkan keterpurukannya. Sementara ritel dan farmasi akan mengalami perlambatan. Hantu resesi di AS juga diramalkan akan datang lebih awal pada triwulan III-IV 2020 ketika pilpres di AS masih berlangsung yang akan memaksa Trump untuk mencari solusi.

Kebijakan mitigasi dampak

Langkah-langkah jangka pendek sudah dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan devisanya untuk meredam fluktuasi Rupiah. Pelemahan Rupiah dapat digunakan untuk mendorong subsitusi ekspor dari komoditi seperti minyak sawit ke jasa-jasa. Di neraca jasa ada surplus signifikan yang dapat digunakan paling tidak untuk mengurangi tekanan pada Rupiah yaitu neraca perjalanan dan pendapatan sekunder walaupun tetap tidak cukup untuk menutup seluruh defisit. Sebagai contoh, dengan beroperasinya tol trans-Jawa akan memungkinkan bagi operator pariwisata untuk memberikan paket-paket diskon untuk wistawan mancanegara dalam menambah arus inbound maupun wisatawan dalam negeri (mengurangi arus outbound). Dalam hal pendapatan sekunder, bank-bank BUMN terutama yang mempunyai jaringan di luar negeri dapat digunakan untuk menyalurkan atau memutarkan remittance di kantong-kantong tenaga kerja Indonesia diluar negeri.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, selain menyelesaikan masalah ekonomi biaya tinggi yang menghambat ekspor, struktur industri perlu diperkuat untuk segmen industri subsitusi impor bahan baku, barang setengah jadi untuk industri hilir yang selama ini mengambil porsi 75  persen  dari impor total.  Dengan  demikian  tercipta  struktur neraca pembayaran yang lebih sehat yang tidak terlalu bergantung pada siklus ekspor komoditi dan keluar masuknya arus modal jangka pendek. Kesempatan juga terbuka bagi Indonesia untuk menampung rantai pasokan hi-tech yang ingin melakukan relokasi. Yang dibutuhkan adalah kawasan industri one-stop service berpelabuhan di jalur maritim perdagangan dunia.

 

Sumber : Harian Kompas 21 Mei 2019