Muhamad Chatib Basri : Mengatasi Hambatan Utama bagi Pertumbuhan Ekonomi

Mengatasi Hambatan Utama bagi Pertumbuhan Ekonomi

Muhamad Chatib Basri

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dhaka, bagi mereka yang lahir pada 1960-an, mungkin seperti kenangan akan Jakarta di masa kanak-kanak. Kota yang kotor, terik matahari yang membakar, gubuk-gubuk yang reyot di pinggir sungai, dan kemiskinan yang kronis. Tak hanya itu, ia juga punya kemacetan yang nyaris sempurna.

Dhaka seperti tak jera dengan kesemrawutan. Ibu kota Bangladesh itu memang bukan kota di Eropa, tempat sejarah menyapa dalam taman hijau atau tata kota yang apik. Ia bahkan bukan Jakarta dengan pelbagai masalahnya. Saya ingat gurauan Gustav Papanek, ekonom dari Boston University, ”Jika Anda mengeluh soal kemacetan atau infrastruktur di Indonesia, pergilah ke Dhaka, Jakarta terlihat seperti surga.”

Papanek benar. Laporan Daya Saing Global (Global Competitiveness Report) 2018 dari World Economic Forum mencatat Bangladesh ada di urutan ke-109 dari 140 negara dalam hal kualitas infrastruktur, lebih buruk dibandingkan dengan Indonesia yang berada di urutan ke-71. Harian Financial Times menulis, untuk mengirim barang dari Dhaka ke pelabuhan utama di Chittagong, dibutuhkan waktu 24 jam, padahal jaraknya hanya 240 kilometer.

Namun—dengan segala centang perenangnya—Bangladesh adalah eksportir pakaian jadi nomor dua terbesar di dunia setelah China. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Bangladesh selalu di atas 6 persen, bahkan mencapai 7,9 persen pada 2017/2018. Menarik untuk melihat pengalaman Bangladesh.

Belajar dari Bangladesh

Kemampuan Indonesia untuk menjaga pertumbuhan ekonomi 5,0-5,2 persen dalam lima tahun terakhir tentu patut diapresiasi. Tahun 2018, Indonesia mampu mengatasi gejolak sektor keuangan dengan baik. Walau pengetatan fiskal dan moneter dilakukan, ekonomi tumbuh 5,2 persen. Ini jelas sebuah prestasi. Tak banyak orang menyadari bahwa tanpa kebijakan yang tepat, situasi di Indonesia bisa menjadi lebih buruk dari tahun lalu.

Data juga menunjukkan, pertumbuhan ekonomi berhasil menurunkan kemiskinan dan pengangguran terbuka. Ia juga mampu menurunkan penganggur muda (15-24 tahun) dari 22 persen (2014) menjadi 20 persen (2018). Namun, seperti yang saya tulis di harian Bisnis Indonesia (18/2/2019), penganggur muda dengan pendidikan SMK naik dari 23 persen (2014) menjadi 33 persen (2018). Begitu juga untuk penganggur dengan pendidikan diploma dan sarjana, naik dari 4,4 persen (2014) menjadi 10 persen (2018).

Artinya, persentase penganggur muda memang menurun, tetapi itu untuk mereka yang berpendidikan SMP ke bawah, terutama SD ke bawah (turun dari 55 persen pada 2014 menjadi hanya 10 persen pada 2018). Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tak sepenuhnya menyerap kelompok usia muda yang berpendidikan SMA ke atas. Mengapa? Mungkin tak terlalu banyak lapangan kerja dengan upah layak yang tersedia. Atau mungkin karena meningkatnya ekspektasi akan pekerjaan.

Penganggur muda yang kurang berpendidikan akan relatif lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Alasannya, ekspektasi mereka tak terlalu tinggi. Mereka lebih bisa menerima ”pekerjaan apa saja” atau upah yang lebih rendah asal bisa hidup. Namun, mereka yang memiliki pendidikan—apalagi SMA ke atas—cenderung lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Alasannya, mereka mencari penghasilan dan status yang lebih baik.

Lalu, bagaimana Bangladesh bisa menjadi produsen pakaian jadi nomor dua di dunia dengan infrastruktur yang buruk? Logikanya, infrastruktur yang baik akan menurunkan biaya logistik, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing. Apakah pembangunan infrastruktur tak berdampak pada daya saing, pertumbuhan ekonomi, dan investasi? Ada baiknya kita melihat beberapa hal berikut.

Pertama, infrastruktur bukanlah penjelas tunggal pertumbuhan ekonomi. Ada berbagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Misalnya, iklim investasi, stabilitas ekonomi makro, pendidikan, modal, tenaga kerja, dan produktivitas. Selain itu, daya saing ekspor tak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur lunak, seperti lingkungan usaha.

Daya saing ekspor, untuk negara seperti Indonesia dan Bangladesh, misalnya, akan sangat peka pada kebijakan ketenagakerjaan. Tengok Global Competitiveness Index 2018: dalam hal biaya pemutusan hubungan kerja (PHK), Indonesia berada pada urutan ke-134 dari 140 negara. Bandingkan dengan Bangladesh yang berada pada urutan ke-125.

Dalam soal waktu untuk memulai usaha, Bangladesh (urutan ke-101), sedikit lebih baik daripada Indonesia (ke-108). Kemudahan berusaha, pasar tenaga kerja yang lebih luwes, telah meningkatkan daya saing ekspor mereka. Akibatnya, banyak merek utama dunia menjadikan Bangladesh sebagai basis produksi. Keunggulan Bangladesh yang utama adalah upah buruh yang relatif lebih murah. Sebaliknya, Indonesia memiliki biaya PHK yang amat tinggi.

Akibatnya, investor menghindari sektor padat karya serta lebih memilih sektor sumber daya alam (SDA) dan padat modal. Ini salah satu faktor yang menjelaskan mengapa peran sektor manufaktur, khususnya padat karya, dalam produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Padahal, industri manufaktur adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Vietnam dan Bangladesh menjadi lebih menarik untuk industri padat karya.

Mereka bahkan menikmati dampak perang dagang Amerika Serikat dengan China. Permintaan ekspor pakaian jadi meningkat di Bangladesh, sementara di Vietnam pertumbuhan penanaman modal asing (PMA) meningkat secara signifikan. Di kita, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi hanya tumbuh 4 persen, di mana realisasi PMA malah mengalami penurunan 8,8 persen pada 2018. Ekspor juga tumbuh melambat. Tentu perlu dicatat, dengan pendapatan per kapita seperti saat ini, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan hanya pada upah buruh murah. Akan tetapi, kita perlu memperbaiki aturan ketenagakerjaan kita.

Kedua, data menunjukkan bahwa rasio dari stok modal infrastruktur terhadap PDB (infrastructure capital stock to GDP) masih sangat rendah, yaitu kurang dari 40 persen. Karena itu, walau pembangunan infrastruktur sudah dilakukan cukup masif dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur masih sangat besar. Infrastruktur ini belum mampu mengungkit pertumbuhan segera.

Ketiga, mengingat kesenjangan yang amat besar ini, pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya didominasi oleh badan usaha milik negara (BUMN). Dana terbatas. BUMN tak mungkin terus-menerus mendapat suntikan modal PMN (penyertaan modal negara) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah perlu melakukan prioritas. APBN sebaiknya fokus pada proyek yang tidak layak secara komersial (misalnya pelabuhan atau jalan di daerah terpencil di Indonesia timur). Berikan ruang bagi swasta jika proyek itu layak secara komersial.

BUMN memang mulai mencari pembiayaan dari luar APBN. Implikasinya, BUMN yang tak memiliki uang kas yang cukup akan mencari sumber pembiayaan lewat utang. Dalam jangka menengah, ada risiko tekanan keuangan. Dan, ini berisiko menjadi beban yang harus ditanggung pemerintah. Karena itu, keterlibatan swasta harus diperluas.

Lalu, bagaimana mengatasi penganggur muda dan terdidik? Jawabannya adalah pekerjaan di sektor formal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, peningkatan penganggur muda terjadi di kelompok tamatan SMK. Penyebabnya mungkin karena yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan. Jika itu soalnya, minta perusahaan melakukan pelatihan sendiri. Caranya? Berikan insentif potongan pajak berganda jika perusahaan melakukan pelatihan untuk perbaikan kualitas sumber daya manusia mereka melalui pendidikan vokasi. Selain itu, pacu pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Juga investasi. Bagaimana caranya?

Regulasi dan institusi

Fokus pembangunan infrastruktur sudah benar dan perlu dilanjutkan. Persoalannya, ia butuh waktu. Padahal, waktu terbatas. Karena itu, kita perlu melihat apa yang bisa dilakukan segera. Richardo Hausman, Dani Rodrik, dan Andres Velasco dari Harvard University datang dengan ide, fokuskan perbaikan pada hambatan yang paling utama (most binding constraint). Kita harus melakukan reformasi yang memberikan dampak segera dan paling besar.

Dalam konteks ini, menarik sekali melihat temuan awal studi Bappenas. Studi itu menunjukkan, walau infrastruktur merupakan hambatan besar, most binding constraint kita adalah masalah regulasi dan institusi. Dalam kasus listrik, misalnya, Bappenas menunjukkan, walau ketersediaan listrik perlu ditingkatkan, ia bukan hambatan utama bagi industri manufaktur. Alasannya, industri manufaktur banyak berpusat di Jawa yang ketersediaan listriknya lebih tinggi. Namun, regulasi memang menjadi hambatan utama.

Saya sepakat dengan studi ini. Biaya berusaha, termasuk biaya pesangon, relatif tinggi. Regulasi yang tak efisien ini memberikan beban bagi dunia usaha. Hanya perusahaan besar yang sanggup menanggung beban ini. Perusahaan kecil dan menengah memilih menjadi informal. Inilah salah satu faktor yang menjelaskan mengapa lapangan kerja formal terbatas.

Selain itu, koordinasi aturan pusat dan daerah juga menjadi masalah. Pendelegasian wewenang memiliki potensi, yang dalam game theory dikenal dengan istilah principal agent problem. Ada risiko pihak yang diberikan wewenang (agent) tak bertindak mengikuti keinginan pemberi wewenang (principal).

Desentralisasi yang terjadi telah memberikan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kepala daerah dipilih langsung oleh
konstituennya. Pemerintah pusat tak bisa memberhentikan mereka kecuali ada pelanggaran berat. Akibatnya, pemda tak harus mengikuti aturan pemerintah pusat. Secara teoretis, principal agent problem dapat diatasi jika principal dapat memberikan hukuman atau insentif agar agent mengikuti keinginan sang principal. Masalahnya, Mahkamah Konstitusi bahkan membatalkan wewenang pemerintah pusat untuk membatalkan peraturan daerah.

Dengan kondisi ini, proses koordinasi aturan antara pusat dan daerah semakin sulit. Misalnya, pemerintah pusat bisa saja melakukan deregulasi yang cukup signifikan, tetapi implementasi ada di daerah. Jika aturan di daerah tetap berbelit, investasi akan tetap sulit dan pemerintah pusat tak bisa mengubahnya.

Instrumen insentif dan penalti

Apa solusinya? Ciptakan instrumen insentif atau penalti. Misalnya, meningkatkan dan mengaktifkan dana alokasi khusus (DAK). Kemudian, berikan DAK ini bagi daerah yang menjalankan perbaikan iklim investasi. Atau sebaliknya, tarik DAK dari daerah yang tak mampu menjaga iklim investasi. Upaya lain untuk memperbaiki iklim investasi adalah merevisi UU Ketenagakerjaan, terutama dalam hal aturan pesangon dan merevisi daftar negatif investasi. Kita memang harus fokus untuk mengatasi hambatan utama.

Saya jadi teringat cerita Dani Rodrik di kedai makan Legal Seafoods di Harvard Square, beberapa tahun lalu. Dengan suara yang datar, ia berkisah tentang sebuah negara di Amerika Latin yang punya daftar reformasi amat panjang. Ironisnya, pertumbuhan ekonominya tak kunjung mengesankan. Kata reform memang telah menjadi mantra. Seperti obat kaki lima, ia dianggap dapat menyelesaikan segala hal. Lalu, kita berlomba membuat daftar yang panjang. Sayangnya, itu tidak selamanya menolong. Waktu kita terbatas. Sumber daya kita terbatas. Prioritaskan perbaikan pada masalah yang menjadi hambatan utama. Dan, Rodrik benar.

 

 

Sumber : Harian Kompas, 27 Maret 2019