Mari Elka Pangestu : Jalur Baru Pembangunan Indonesia

Jalur Baru Pembangunan Indonesia

Mari Elka Pangestu

Guru Besar FEB Universitas Indonesia

Polemik dalam pembahasan perubahan iklim adalah adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi gas rumah kaca (GHG). Padahal, urgensi untuk bertindak terhadap perubahan iklim adalah sekarang.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2018 harus jadi peringatan bagi kita semua. Jika perubahan iklim tak ditangani, akan membawa malapetaka bagi dunia dan Indonesia, seperti meningkatnya bencana alam, tenggelamnya pulau-pulau Indonesia, kerusakan modal alam, polusi udara, dan kekurangan air. Kelompok paling terdampak adalah masyarakat berpendapatan rendah.

Kementerian PPN/Bappenas baru saja meluncurkan laporan berjudul ”Pembangunan Rendah Karbon-Pergeseran Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia” yang menjadikan Indonesia negara pertama yang mengintegrasikan target penurunan emisi GHG  dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.

Dengan pendekatan sistem yang terintegrasi (systems based integrated approach), jalur rendah karbon dapat dicapai dengan intervensi kebijakan terhadap sistem yang saling terkait antara sistem energi, transportasi, industri, pertanian dan perikanan, serta sektor lain. Pendekatan sistem mengintegrasikan dampak kegiatan ekonomi dengan daya tampung dan daya dukung seperti sumber daya lahan dan air serta dampak emisi GHG. Dengan demikian, seharusnya akan mengubah proses dalam perencanaan dan implementasi kebijakan yang ego-sektoral atau ”silo”.

Berdasarkan laporan itu, pembangunan rendah karbon akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada pendekatan pembangunan saat ini (business as usual). Perekonomian diprediksi tumbuh rata-rata 6 persen per tahun pada 2019-2045.

Emisi GHG diproyeksikan turun sampai hampir 43 persen pada 2030 atau di atas komitmen perubahan iklim Indonesia. Jalur pembangunan rendah karbon mengandung asumsi perubahan kebijakan pemerintah, seperti kebijakan beralih dari sumber energi berbasis minyak bumi dan batubara ke sumber energi rendah karbon. Contoh lain, pembangunan infrastruktur dilakukan dengan berkelanjutan, seperti membangun sistem transportasi publik ramah lingkungan dan  kebijakan peningkatan produksi pertanian dengan tak memperluas lahan, tetapi menaikkan produktivitas.

Tentu syarat sangat penting untuk merealisasikan pertumbuhan tinggi sekaligus rendah karbon adalah komitmen dan koordinasi pemerintah, termasuk dengan pemda, dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Kepastian arah dan strategi akan mendorong investasi serta inovasi.  Selain kinerja pertumbuhan PDB lebih tinggi dari jalur pembangunan rendah karbon, manfaat lain yang dapat dicapai mencakup kesempatan kerja lebih luas, kualitas kesehatan publik membaik, dan taraf hidup masyarakat meningkat. Bahkan, pada 2045, kemiskinan ekstrem diperkirakan akan turun hingga 4,2 persen dari penduduk, dari 9,8 persen saat ini.

Sinergi

Dalam rangka mendorong investasi dan pendanaan ekonomi rendah karbon di Indonesia agar menarik dan bermanfaat, tiga hal ini patut diperhatikan. Pertama, pembangunan rendah karbon harus mendukung pendekatan sinergis yang menyumbang pada pencapaian sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan. Contohnya, kebijakan melindungi serta rehabilitasi hutan dan lahan, seperti moratorium penggunaan lahan gambut dan menahan deforestasi, juga akan berdampak pada pasokan air untuk minum dan irigasi yang dihasilkan ekosistem hutan dan sungai.

Energi terbarukan juga mengurangi emisi GHG dan mendorong tercapainya target kesehatan, seperti menurunnya kasus infeksi pernapasan yang dipicu polusi dari pembangkit tenaga batubara. Menurut laporan itu, investasi di proyek baru batubara tak lagi ekonomis jika dampak polusi ikut dihitung. Investasi energi terbarukan lebih baik bagi ekonomi dan masyarakat, saat ini dan di masa datang.  Apalagi, biaya energi terbarukan turun dengan cepat dan terus turun dengan tercapainya skala ekonomi.

Skala investasi dan pembiayaan

Kedua, dalam laporan itu, rata-rata total investasi untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia sekitar 21,9 miliar dollar AS untuk periode RPJMN 2020-2024. Ini setara dengan 1,7 persen PDB. Sementara investasi untuk pembangunan rendah karbon 2024-2045 diperkirakan sekitar 2,3 persen PDB. Dibandingkan dengan tingkat investasi saat ini, pembangunan rendah karbon perlu rasio investasi terhadap PDB lebih rendah atau lebih efisien.

Skenario pembangunan rendah karbon diproyeksi mampu menciptakan 15,3 juta green jobs dengan tingkat upah lebih baik pada 2045. Ini kabar baik bagi kita semua, khususnya mengingat bonus demografi dan kebutuhan penciptaan lapangan kerja. Kebijakan dan intervensi juga harus bersandar pada tenaga kerja lokal dan menekan jumlah masyarakat yang terdampak negatif saat transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Mobilisasi pendanaan

Ketiga, mengingat jumlah investasi yang diperlukan, pembangunan rendah karbon butuh kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam mobilisasi pendanaan dan harmonisasi investasi dengan tolok ukur rendah karbon. Pemerintah tak punya sumber dari APBN yang cukup untuk mendanai transisi ke jalur pembangunan rendah karbon, baik dari upaya sendiri maupun dukungan mitra pembangunan bilateral/multilateral.

Perlu pendanaan tambahan dari swasta domestik serta luar negeri dan pendanaan campuran (blended finance), khususnya untuk investasi di sustainable capital yang akan menyokong transisi ini. Daya tarik bagi swasta dapat diciptakan dengan mengarusutamakan kebijakan rendah karbon, selain membangun kerangka tata kelola serta kebijakan ajek dan jelas. Pemerintah sudah memulai upaya ini dengan memberikan label proyek green dalam APBN, diterbitkannya green sukuk, dan diluncurkannya SDG One Fund oleh PT SMI.  Otoritas Jasa Keuangan juga mengeluarkan pedoman pendanaan berkelanjutan (sustainable finance).

Tantangan terbesar dalam mendorong investasi swasta datang dari persepsi tentang risiko investasi. Bank pembangunan dan institusi keuangan dapat berperan sebagai katalis dalam mobilisasi pendanaan awal (upfront financing) atau memberi garansi yang dibutuhkan. Ini jadi perangkat untuk mengurangi risiko investasi di proyek-proyek rendah karbon. Tersedianya fasilitas untuk persiapan proyek menjadi satu cara mendukung pengembangan proyek-proyek yang bankable sekaligus sepadan dengan strategi rendah karbon. Contohnya kemitraan Clean Energy Finance antara AS dan India (USICEF) yang membantu proyek energi bersih agar siap untuk investasi.

Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pendekatan berbasis sistem yang terintegrasi membuktikan trade off tak mesti terjadi saat kita berniat menggapai sasaran pembangunan dan sasaran rendah karbon sekaligus. Kini tugas kita semua untuk mewujudnyatakan visi dan peluang emas agar Indonesia tak kehilangan ribuan pulau dan anak-cucu kita bisa menghirup udara segar serta hidup nyaman.

 

Sumber : Harian Kompas 29 Maret 2019