Bambang PS Brodjonegoro: Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Laut Sebagai Mesin Penggerak Kehidupan Bumi

Bambang PS Brodjonegoro: Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Laut Sebagai Mesin Penggerak Kehidupan Bumi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Sebuah pertemuan kelautan tingkat nasional telah diselenggarakan di Bali pada Desember 2018 dengan agenda tunggal menyusun peta jalan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-14 tentang kehidupan di bawah laut (life below water). Pertemuan ini dihadiri pemangku kepentingan kelautan dan perikanan yang berasal dari kementerian dan lembaga, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat untuk menyikapi isu dan tantangan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berasal dari laut.

Semua pemangku kepentingan menyadari, laut harus dapat dijaga dan dikelola dengan baik karena laut mesin penggerak kehidupan bumi. Lautan yang menutupi lebih dari 70% wilayah bumi merupakan pengatur iklim global, sumber makanan nabati dan hewani, sarana penghubung antar pulau, bahkan masih banyak misteri laut perlu diungkap untuk lebih dapat menyokong kehidupan umat manusia.

“Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-14 (Goal 14) merupakan kaidah-kaidah pengelolaan laut untuk menunjang kehidupan manusia yang lebih baik. Lebih dari 50% pemenuhan protein hewan bagi masyarakat Indonesia berasal dari ikan, termasuk ikan hasil tangkapan di laut. Artinya, pencapaian tujuan ke-14 juga akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan dalam mendukung tujuan ke-2 tanpa kelaparan (zero hunger),” kata Bambang PS Brodjonegoro dalam rilis tulisannya di Koran Kompas, (7/2/2019).

Namun, banyak tantangan yang dihadapi untuk mencapai tujuan ke-14, antara lain perubahan iklim akibat dari pemanasan global (tujuan ke-13). Perubahan iklim dapat mengancam kehidupan biota laut, terumbu karang, serta kehidupan pesisir, yang selanjutnya berakibat pada penurunan akses terhadap bahan pangan.

Program Lingkungan PBB (UNEP) melaporkan, pada tahun 2018, green gas emission yang dihasilkan pada tahun 2017 mencapai rekor 53,5 gigaton setara karbon dioksida. Padahal, laut memiliki peranan penting sebagai penyerap karbon dioksida (carbon sink) dan penghasil oksigen (oxygen pump) sehingga laut merupakan pengatur perubahan iklim global (climate regulator).

“Tujuan ke-14 juga mengharuskan terpeliharanya keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut secara bertanggung jawab. Keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan menuntut penyediaan data dan informasi dengan jelas, lengkap, akuntabel, dan transparan sehingga kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan akan lebih mudah dibuat, menghindari polemik akibat seberapa jauh SDA di laut dapat dimanfaatkan,” ujarnya.

Untuk itu, pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-14 perlu dilakukan secara multidisiplin dengan melalui tiga pendekatan, yaitu memperkuat riset kelautan, inovasi pendanaan, dan tata kelola kelautan yang lebih baik. Dapat dimengerti, melakukan riset kelautan memerlukan biaya tidak kecil. Sarana penelitian yang terbatas dengan tuntutan memperoleh data di laut, termasuk menjangkau zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, memerlukan strategi pengembangan riset secara sinergi melibatkan semua lembaga penelitian beserta perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang kelautan.

Penguatan kolaborasi antar lembaga penelitian diharapkan juga mampu mengembangkan iptek interaksi antar laut dan atmosfer sebagai upaya mitigasi dan adaptasi dari dampak perubahan iklim terhadap kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas banyak pulau disertai tingginya keanekaragaman hayati.

Pembangunan di bidang kelautan menuntut kerja sama ilmiah di berbagai tingkatan dengan meningkatkan pengetahuan ilmiah, membangun kapasitas riset, dan alih teknologi kelautan. Sangat memungkinkan, seandainya seluruh kekuatan riset bisa dihimpun menuju target-target yang disepakati, akan banyak energi dan dana yang bisa dihemat.

Investasi pada riset kelautan beserta kapasitas sumber daya manusia yang telah dibangun selama ini merupakan modal kekuatan dalam mengembangkan riset kelautan di masa depan. Ironis bagi Indonesia kalau menjadi tertinggal dibandingkan negara lain karena investasi yang telah tersedia dalam menghasilkan berbagai teknologi tidak dimanfaatkan mengingat perkembangan iptek di bidang kelautan bergerak sangat cepat.

Menyikapi kebutuhan dana yang sangat besar untuk mencapai tujuan ke-14, tidak hanya untuk keperluan riset, tetapi juga keperluan lain, seyogianya kita dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari pengelolaan kekayaan alam yang ada. Laporan UNEP menyatakan, keberadaan terumbu karang dunia memiliki potensi sangat besar dan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi jika dikelola dengan baik.

Disebutkan dalam laporan tersebut (The Coral Reef Economy), saat ini nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang di wilayah Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative/CTI) mencapai 14 miliar dollar AS, yang dihasilkan dari sektor pariwisata, perikanan, dan pemanfaatan infrastruktur pantai. “Jika negara-negara dalam kawasan CTI menjaga kondisi ekosistem terumbu karang dengan baik sampai dengan 2030, diperkirakan nilai ekonominya akan meningkat menjadi 37 miliar dollar AS. Dari jumlah ini, 2,6 miliar dollar AS dihasilkan di kawasan perairan Indonesia,” tambahnya.

Konservasi sumber daya laut dengan kekayaan yang besar ternyata memberi keuntungan dari segi ekonomi jika dikelola secara profesional dan melibatkan semua unsur pemangku kepentingan. Salah satu kendala pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan SDA yang baik dibatasi dengan penyediaan dana pembangunan. Mengandalkan dana pemerintah merupakan proses yang sulit dan lama.

Dana yang berasal dari lembaga keuangan atau sumber lain yang selama ini diperuntukkan sebagai ongkos produksi dapat digunakan untuk membiayai upaya mempertahankan keragaman hayati laut (conservation cost) dalam menunjang suatu kegiatan perikanan berkelanjutan di wilayah tersebut. Mekanisme ini sangat tepat digunakan untuk kegiatan perikanan skala kecil yang mendominasi kegiatan perikanan Indonesia.

Kebutuhan pendanaan untuk sektor perikanan skala kecil sangat besar. Dalam pertemuan para pihak (COP) ke-24 tentang perubahan iklim di Katowice, Polandia, Desember 2018, Indonesia ikut dalam forum diskusi bersama beberapa negara lain yang menyampaikan bahwa mereka telah dan berhasil menjalankan mekanisme pendanaan blended financing ini. Pemerintah menyambut baik model pendanaan ini untuk diterapkan sebagai kegiatan percontohan (pilot projects) di Indonesia dengan harapan mekanisme ini dapat direplikasi di seluruh wilayah Nusantara.

“Menetapkan secara tepat berbagai fungsi di laut dalam suatu perencanaan jangka panjang akan memperkuat pengaturan tata ruang di laut. Indonesia yang terdiri atas 70% laut
butuh kesinambungan pengaturan tara ruang laut dan darat dalam jangka panjang,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Koran Kompas. Edisi: Kamis, 7 Februari 2019. Kolom Opini.