Budi Wibowo: Sambut Era Baru Emisi Obligasi

Budi Wibowo: Sambut Era Baru Emisi Obligasi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Salah satu faktor kendala yang dihadapi perusahaan untuk melakukan emisi surat utang ialah bond issuance process yang relatif lama bahkan dalam banyak kasus tidak dapat diduga dengan pasti kapan proses tersebut akan berakhir. Proses emisi surat utang sudah terhalangi sejak titik awal, yaitu proses pengurusan izin dan memperoleh pernyataan efektif tercatat dari otoritas bursa.

POJK no 11 tahun 2018 yang baru Agustus kemarin diundangkan bertujuan untuk memangkas proses emisi obligasi, khususnya bagi investor profesional. Proses emisi yang cepat sangat penting karena benefit dari emisi obligasi sangat dipengaruhi oleh kondisi suku bunga pasar yang dapat bergerak ke arah yang tidak favorable selama pengurusan izin yang berlarut-larut.

“Benefit yang semula diharapkan dapat diraih dapat berkurang bahkan hilang sama sekali karena perubahan suku bunga pasar ke arah yang tidak favorable. Sementara biaya selama tahapan bond issuance process tersebut sudah pasti harus dibayar oleh calon emiten, apakah emisi itu akhirnya jadi dieksekusi oleh perusahaan atau perusahaan memilih menunda emisi,” kata Buddi Wibowo dalam rilis tulisannya di Koran Kontan, (21/1/2019).

Beberapa negara telah mencoba mengatasi masalah ini dengan cara menerapkan sebuah kebijakan yang dapat menyederhanakan bahkan memangkas proses emisi obligasi sehingga eksekusi dari niat perusahaan untuk mengeluarkan surat utang dapat dilakukan segera dan benefit yang diharapkan oleh perusahaan emiten belum berubah terlalu banyak karena perubahan kondisi makro ekonomi yang tidak terduga.

Negara-negara yang serius untuk mendorong perkembangan pasar surat utang domestik di negaranya masing-masing merasa tidak cukup untuk mengatasi masalah bond issuance process hanya dengan memangkas waktu maksimum yang diperlukan dalam mengurus izin proses public offering dari surat utang korporasi. “Sebuah terobosan digunakan oleh beberapa negara dengan menyederhanakan proses bond issuance di pasar perdana yang tidak harus mengikuti proses public offering yang umum. Rezim regulasi itu disebut sebagai hybrid offer regime (HBOR),” tuturnya.

Hybrid offer regime (HBOR) adalah sebuah bond issuance framework yang ditujukan kepada institutional investors, yang diasumsikan sebagai sophisticated buyer yang dapat memitigasi risiko surat utang yang dibelinya sendiri sehingga regulator tidak perlu mewajibkan mereka untuk mengikuti peraturan-peraturan yang umumnya dibuat untuk melindungi investor publik yang diasumsikan kurang mampu menganalisis risiko secara mandiri.

Alasan penerapan tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon emiten dalam bond issuance process yang cukup panjang dan lama tersebut didasari oleh keinginan pemerintah untuk melindungi investor publik yang ada di pasar surat utang korporasi. Tentu saja, ketika investor bukan investor awam, profesional, cukup bertanggung jawab dan mampu mengurus dirinya sendiri maka izin emisi obligasi tidak lagi harus melalui tahapan yang lama dan berliku seperti ketika surat utang tersebut dijual kepada investor publik yang awam.

Pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan hybrid offer regime menunjukkan peningkatan yang signifikan dari jumlah emiten dan nilai surat utang yang diemisi setelah hybrid offer regime diluncurkan. “Indonesia sebetulnya sudah jauh tertinggal dalam implementasi hybrid offer regime ini dengan dirilisnya POJK no 11 tahun 2018. Malaysia sudah sejak 11 tahun lalu, Thailand sudah 9 tahun lalu menjalankannya,” pungkasnya.

Premis utama kebijakan hybrid offer regime adalah investor institusi dapat dinilai sebagai investor yang canggih (sophisticated) sehingga regulator dapat mengurangi persyaratan tertentu untuk emisi surat utang yang akan dibeli oleh investor yang canggih ini.

Seperti hasil kajian atas beberapa negara yang pasar surat utangnya tertinggal dibandingkan dengan negara lain, masalah utama dari emisi surat utang korporasi lebih banyak disebabkan rerangka regulasi yang tidak memadai (inadequate regulatory framework) dengan berbagai persyaratan yang rumit dan tidak pasti (Loladze ,2015). Motivasi regulator dalam menetapkan persyaratan public offering yang rumit tersebut sebetulnya baik yaitu melindungi investor publik dari praktek-praktek keuangan perusahaan yang tidak baik.

Namun regulasi tersebut memiliki asumsi dasar yang sering kali tidak tepat bahwa semua investor adalah investor yang “lemah” dan awam sehingga perlu dilindungi pemerintah. One-size-fits-all regulations seperti ini justru menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi pengembangan pasar surat utang korporasi.

Kebutuhan keuangan dan profil calon perusahaan emiten surat utang yang beragam secara alamiah membuat setiap perusahaan sebetulnya memiliki target investor tersendiri. Target investor ini telah memahami secara lebih mendalam bisnis calon emiten, risiko keuangan dan kapasitas perusahaan untuk membayar utangnya.

Jadi setiap investor memiliki kemampuan yang unik dan khas dalam menganalisis risiko calon emiten tertentu sehingga regulasi untuk emisi surat utang tidak dapat dibuat seragam. “Misalnya emiten dengan asset yang besar, sejarah bisnisnya sudah cukup panjang dan transparan serta beroperasi pada industri yang relatif dikenal oleh para kebanyakan analis tentu berbeda dengan emiten yang kecil, yang pertama kali masuk ke pasar modal, atau beroperasi di industri yang unik dan spesifik,” tambahnya.

Logikanya, investor institusi besar dengan analis yang canggih dan memahami secara detil dan mendalam risiko keuangan dari suatu perusahaan yang akan mengeluarkan surat utang tentu tidak perlu dikenakan regulasi yang terlampau ketat, seketat investor publik yang awam. Tentu saja setiap investor akan memiliki tingkat kecanggihan yang berbeda-beda sehingga seharusnya proteksi dari regulator disesuaikan dengan tingkat kecanggihan setiap investor.

Beberapa negara memiliki istilah tersendiri untuk sophisticated investor dan bagaimana proses penetapannya. Ada yang hanya berdasarkan nilai aset dari investor institusi tersebut. Ada pula yang melalui suatu proses penilaian dan ditetapkan oleh regulator. Istilah untuk sophisticated investor di antaranya Accredited Investor, High Net Worth Entity, Qualified Investor Buyer. OJK memilih istilah ‘investor professional’.

Hybrid offer regime terbukti di banyak negara mampu mendorong emisi surat utang korporasi. Malaysia yang paling ekstrim, yaitu jumlah surat utang yang diemisi melalui prosedur hybrid offer regime mencapai 98% dari total surat utang yang diemisi pada tahun 2010.

Brasil mencapai 70% dan Thailand yang baru menerapkan hybrid offer regime pada tahun 2009, jumlah emisi surat utang perusahaan Thailand yang mengikuti prosedur hybrid offer regime sudah mencapai 42% dari total emisi tahun 2015. “Perusahaan emiten surat utang dan investor lebih memilih menggunakan prosedur hybrid offer regime yang sederhana dan dapat dieksekusi secara cepat,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 21 Januari 2019. Kolom Opini.