Sri Edi Swasono: Nasionalisme Jadi Pondasi bagi Indonesia Hadapi Globalisasi

Sri Edi Swasono: Nasionalisme Jadi Pondasi bagi Indonesia Hadapi Globalisasi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengadakan Kuliah Umum mata kuliah MPKT-A dengan pembahasan “Nasionalisme Indonesia: Mengutamakan Kepentingan Nasional Tanpa Abaikan Tanggungjawab Global” yang berlangsung di Lapangan Pertamina Hall, pada Selasa (27/11/2018).

Guru Besar FEB UI, Prof. Sri Edi Swasono, Ph.D., mengatakan jiwa nasionalisme rakyat Indonesia semakin lama semakin luntur dan paham ideologi kebersamaan atau kekeluargaan yang dimiliki oleh Indonesia ternodai oleh segelintir orang. Hal ini disebabkan oleh dampak dari perkembangan dunia globalisasi.

Indonesia dalam globalisasi ibarat menghadapi prahara, ibarat angina puting beliung, namun Indonesia justru tidak berpegang teguh pada tiang tahang utamanya, yaitu Pancasila. Bahkan malah membiarkan dirinya termakan oleh neoliberalisme dengan mengakibatkan kepentingan nasional diabaikan bahkan lebih termakan oleh kepentingan global.

“Anak-anak muda bangsa ini ‘telah menjadi lawan kita’, dalam arti mereka mengagumi dan gandrung dengan yang serba asing, mereka lupa atau tak sadar akan kepentingan nasional khususnya kecintaan pada Tanah Air untuk mencintai produk dalam negeri. Lebih khusus lagi, anak-anak muda kita mencoreng-moreng kota bahkan neighbourhood mereka sendiri sebagai ekspresi grafiti penuh kekonyolan, cermin hilangnya kecintaan pada Ibu Pertiwi dan tipisnya tanggungjawab serta miskinnya estetika,” ucap Sri Edi Swasono.

Orang mancanegara yang membangun Indonesia menjadi pemegang konsesi bagi usaha-usaha ekonomi strategis. Sedangkan orang Indonesia menjadi penonton atau sekedar jongos globalisasi. Pembangunan seharusnya mengutamakan ‘daulat rakyat’, bukan mengutamakan ‘daulat pasar’ nya neoliberalisme dan kapitalisme dengan mengakibatkan pembangunan menggusur rakyat miskin dan bukan menggusur kemiskinan rakyat.

Sementara itu, kesejahteraan rakyat tidak kunjung tercapai, karena masih adanya kesenjangan antara kaya dan miskin yang sangat tajam. Ketidakadilan pendapatan dan pemilikan makin melebar. Globalisasi ekonomi dengan pasar bebas dan persaingan perdagangan bebas semakin mempertajam kesenjangan ini. “Di sini rasa keadilan terusik, emansipasi & toleransi terganggu, kerukunan nasional akan berubah menjadi konflik nasional yang akan menggoyahkan kestabilan integrase nasional,” jelasnya.

Kita tidak anti asing (tidak xenophobic) tetapi kita tidak boleh membiarkan dan bahkan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi harus dengan tegar kita hadapi sambil tetap menyadari bahwa globalisasi bukanlah ajang penyerahan kedaulatan nasional ke kekuatan-kekuatan global.

“Kita harus bangkit dan harus memegang teguh pada prinsip berkedaulatan dengan meyakinkan diri bahwa tidak selayaknya lagi menjadi kuli di negeri sendiri atau jongos globalisasi. Kita menjadi Tuan di negeri sendiri, dengan ‘The Master in our own Homeland, not just to become the Host’ dengan semangat Nasionalisme yang tinggi,” tutupnya. (Des)