Ari Kuncoro: Meniti Siklus Bisnis dan Antisipasi Tata Dunia Baru

Ari Kuncoro: Meniti Siklus Bisnis dan Antisipasi Tata Dunia Baru

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Data Makro Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan rata-rata pertumbuhan triwulanan selama 2005 sebesar 6% dibandingkan rata-rata 4,3% periode 2001-2004. Periode 2014 akhir, sampai triwulan III-2018, perekonomian Indonesia bergerak melawan arah angin. Seperti lazimnya dalam konsep Keynesian, untuk mempertahankan momentum pertumbuhan, pemerintah baru mencoba memberlakukan kebijakan kontra-siklikal melalui pengeluaran pemerintah dan penyederhanaan regulasi.

Meski terdengar sederhana, implementasi kontra-siklikal ini tidak mudah karena ada beberapa kendala dari dalam negeri maupun luar negeri. Kendala pertama, mulai masuknya generasi milenial sebagai tenaga kerja ataupun konsumen. Kedua, perkembangan teknologi yang menghasilkan teknologi (disrupsi) yang menghemat tenaga manusia. Ketiga, perubahan geopolitik dan aliansi perdagangan dunia sebagai akibat bangkitnya paham neo-proteksionisme yang membuahkan eskalasi perang dagang dunia.

“Perang dagang antara AS-Cina menimbulkan kasus kegagalan negosiasi terhadap tarif kesepakatan antara kedua negara. Untuk mencapai kesepakatan, gaya negosiasi AS ialah mengancam untuk memperluas cakupan barang ekspor Cina ke AS yang kena tarif. Cina membalasnya dengan hal yang sama,” ucap Ari Kuncoro dalam tulisannya di Harian Kompas, (23/10/2018).

Untuk kasus AS versus Meksiko dan Kanada, AS memperoleh konsesi pada menit-menit terakhir yang diklaim menyelamatkan blok perdagangan Amerika Utara (NAFTA). Dengan Uni Eropa, untuk sementara terjadi gencatan senjata.

Dalam perjanjian baru NAFTA, AS mendapat konsesi, yaitu kendaraan yang diproduksi di AS dan Meksiko harus memiliki minimal 75% kandungan lokal dari AS atau Meksiko untuk dapat bebas tarif. Perjanjian ini menjadi tombak penghalang bagi produsen suku cadang Asia untuk memasuki pasar Amerika Utara dan akan mengubah rantai pasok dari industri kendaraan bermotor di Asia.

Namun, yang terjadi berikutnya euforia bahwa AS akan kembali jadi pusat kekuatan manufaktur. Harga saham di AS sempat naik tajam, sementara harga saham dan nilai tukar di Asia melemah akibat arus modal portofolio berbalik kembali ke AS. Euforia ini dengan cepat berakhir ketika bank sentral AS menaikkan bunga acuan sehingga balas jasa obligasi pemerintah naik.

“Dalam situasi lingkungan internal dan eksternal seperti itu, strategi pemerintah ialah memberikan stimulus pada perekonomian domestik sekaligus meninkatkan daya saing/kapasitas produksi nasional,” jelas Ari Kuncoro.

Pada tahun 2014 inflasi 8,36%, tahun 2015, 2016, dan 2017 turun tajam menjadi 3,35, 3,02, dan 3,61 persen. Untuk 2018 diperkirakan tetap terkendali 3,7% hingga akhir tahun meski ada tekanan depresiasi rupiah. Kualitas pertumbuhan menjadi tujuan utama dari jalur pertumbuhan inflasi yang dapat ditejermahkan menjadi pertumbuhan dengan menjaga daya beli, memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat, dan memperbaiki pemerataan.

Untuk mencapai tujuan ini, investasi swasta tak cukup kuat sendirian melakukan jump start ekonomi. Metode ekonometri sebab-akibat Granger Causality menunjukkan, setelah 2005 pertumbuhan PDB lebih menyebabkan pertumbuhan investasi, terutama untuk mesin & perlengkapan daripada sebaliknya. Ini menjelaskan mengapa pemerintah mengambil inisiatif memusatkan diri pada pemberian stimulus pada perekonomian lewat pembangunan infrastruktur yang mendorong permintaan permintaan masyarakat dan sekaligus menciptakan kapasitas produksi nasional.

Pembangunan infrastruktur tulang punggung bersama dengan program padat karya dari dana desa, dan pembangunan ekonomi inklusif yang dipelopori BUMN, seperti hutan sosial, BUMDes, balai ekonomi desa yang berorientasi pariwisata inklusif dibarengi bantuan pembiayaan seperti KUR, angka elastisitas tenaga kerja Indonesia telah meningkat dari 0,22 pada paruh akhir dari periode bonanza komoditas (2010-2014) jadi 0,53 pada 2015-2017.

Sementara angka koefisien gini juga turun dari 0,41 di tahun terakhir bonanza komoditas pada 2012 jadi 0,40, 0,391, dan 0,389 pada 2016, 2017, dan 2018. Setelah 2005-2006, manufaktur tak lagi jadi penggerak utama pertumbuhan. Secara perlahan sektor perdagangan, hotel, dan restoran mulai berbagi peran dengan manufaktur. Selanjutnya peningkatan mobilitas masyarakat antara kota dan desa sebagai akibat kian baiknya konektivitas juga turut menghubungkan perkotaan dan perdesaan dalam suatu aglomerasi kesempatan kerja yang memberikan akses pada penduduk untuk meningkatkan kesejahteraan.

Bila dilihat dari kacamata ekspor Indonesia, dunia sebelum dan sesudah triwulan IV-2017 sangat berbeda. Perbaikan nilai riil ekspor mulai terlihat di triwulan III-2016 dengan membaiknya pertumbuhan menuju ke positif setelah negatif berturut-turut triwulan I-2015 hingga triwulan II-2016. Seperti lazimnya, pertumbuhan impor juga naik mengikuti kebutuhan barang input yang diimpor maupun karena meningkatnya kegiatan ekonomi domestik. Meski demikian, masih terjadi gap sehat antara ekspor dan impor yang mengisyaratkan surplus perdagangan.

Neraca perdagangan jadi defisit dan memperlebar defisit neraca berjalan ke sekitar 3% PDB. Mulai saat itu rupiah tertekan, baik karena berkurangnya pasokan dollar dalam negeri maupun karena defisit perdagangan menimbulkan tekanan jual bagi saham Indonesia yang dimiliki asing, yang berarti ada arus modal portofolio keluar.

“Defisit perdagangan sering digunakan sebagai indikator dashboard bagi para pemodal jangka pendek saham di pasar modal untuk menentukan posisi jual/beli. Hasilnya, neraca perdagangan September 2018 kembali positif meski ekspor turun sebesar 6,5% dibandingkan bulan sebelumnya,” ungkap Ari Kuncoro.

Selain itu, pelemahan rupiah sejak November 2017 adalah cerminan situasi eksternal yang dihadapi Indonesia. Dalam jangka pendek BI menggunakan suku bunga dan cadangan devisanya untuk menegaskan ke pasar, BI siap jaga stabilitas rupiah. Dalam jangka menengah dan panjang, perlu perbaikan struktural perekonomian. Di dalam neraca jasa 2017, neraca perjalanan dan neraca pendapatan sekunder masih positif sekitar 4,2 dan 4,5 miliar dollar AS. Sektor pariwisata dapat meningkatkan wisatawan luar negeri dari segala kelompok pendapatan, lewat diferensiasi harga berdasarkan kualitas pelayanan.

Untuk meningkatkan pendapatan sekunder berupa remitans, dalam jangka menengah keterampilan pekerja migran dapat ditingkatkan ke arah profesi formal, seperti juru rawat, juru masak, dan juru las. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan devisa bersih dari manufaktur, pekerjaan rumahnya adalah memperbaiki iklim usaha, khususnya bagi produsen skala menengah yang memproduksi bahan baku dan barang-barang antara untuk industri hilir.

Persepsi risiko investasi jangka panjang Indonesia masih baik, ditunjukkan oleh current default swap (CDS) yang relatif stabil tak menunjukkan kenaikan berarti, beda dengan ketika rupiah bergejolak di 2015. Penandatanganan 19 proyek infrastruktur pada pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali memberikan contoh model penanaman modal asing yang membuka peluang bagi neraca modal untuk bergeser ke arus modal jangka panjang baik dalam penempatan ekuitas maupun surat utang.

“Dalam jangka panjang neraca modal akan lebih tak rentan terhadap pembalikan arus modal seperti terjadi jika modal portofolio jadi bagian yang dominan dalam pembiayaan defisit neraca berjalan. Hasil akhir adalah rupiah yang lebih stabil dalam jangka panjang,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi Selasa, 23 Oktober 2018. Rubrik Opini Hal.6