Willem A. Makaliwe Mengkaji Solusi Nilai Tukar Rupiah Bukan pada Suku Bunga

Willem A. Makaliwe Mengkaji Solusi Nilai Tukar Rupiah Bukan pada Suku Bunga

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mengalami pelemahan yang cukup besar seiring dengan menguatnya dollar atas mata uang global pada semester II-2018. Pada tingkat regional ASEAN, dollar AS menguat atas rupiah 6,8%, ringgit Malaysia 0,5%, dollar Singapura 2,3%, dan bath Thailand 2,2%.

Keberadaan rupiah untuk saat ini di atas 14.000 per dollar AS. Selain itu, pelemahan rupiah juga terjadi pada mata uang lain. Misalnya, Euro mengalami apresiasi atas rupiah 3%, yuan dan yen masing-masing menguat 3,9% dan 8%. Terhadap negara sekawasan, ringgit menguat 5,96% atas rupiah. Begitu juga dollar Singapura dan bath Thailand masing-masing menguat 3,6% dan 4,2%.

Nilai tukar bisa bergerak berbeda dari nilai keseimbangan, disebabkan oleh faktor jangka pendek, yakni perkembangan eksternal dari perilaku investor portofolio dan efek kepanikan. Perilaku investor pada akhirnya akan dipengaruhi oleh fundamental ekonomi. Supaya investor portofolio, baik asing maupun domestik bisa terus tertarik memegang rupiah dengan cara mempertahankan daya tarik dan nilai jual.

Salah satu prinsip bila suatu negara mengalami inflasi lebih tinggi daripada negara lain, daya saing ekonomi dan khususnya perdagangan pada negara itu akan lebih rendah. Oleh sebab itu, nilai mata uang negara itu akan mengalami depresiasi.

Namun kalaupun depresiasi, hasil estimasi Dosen dan Wakil Kepala Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Willem A. Makaliwe, hanya bergerak pada kisaran Rp 13.804-Rp 13.845 per dollar AS untuk 2018. Estimasi tersebut merujuk pada landasan diferensial riil, sehingga nilai rupiah di atas Rp 14.000 per dollar AS cenderung undervalued.

 Bank Indonesia atau bank sentral mengambil langkah kebijakan dengan tren pembalikan suku bunga sejak Mei 2018, dari angka 4,25% menjadi 4,50% atau naik 25 basis poin pada pertengahan Mei 2018, kemudian 4,75% pada akhir Mei 2018, dan 5,25% pada akhir Juni 2018. Selain itu, kenaikan suku bunga sejak September 2017 dengan suku bunga 4,25%, bisa mengganggu upaya mendorong ekonomi yang ekspansif. Kenaikan suku bunga hanya akan memperparah pertumbuhan kredit dan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, bank sentral harus mengambil langkah komunikasi untuk menyampaikan informasi termasuk mengenai kekuatan cadangan devisa dan pergerakan investasi portofolio yang berada dalam pengamatan bank sentral. Selain itu, dalam jangka pendek tidak perlu terjadi lagi kenaikan suku bunga walaupun di AS (The Fed) menaikkan suku bunga rujukan. (Des)

 

Sumber : Harian Kompas. Rabu, 25 Juli 2018. Kolom Opini hal.7