Prof. Anwar Nasution, Kerawanan Ekonomi. Harian Kompas 11 Juni 2018

Kerawanan Ekonomi

Oleh: Prof. Anwar Nasution, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Guncangan atas kurs devisa akhir-akhir ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang lebih parah seperti terjadi tahun 1997-98 dan 2008-2009.
Gejolak itu perlu mendapatkan perhatian karena sudah sejak Agustus 2013, Morgan Stanley sudah memasukkan Indonesia dalam kelompok The Fragile Five (lima perekonomian yang rentan) bersama Turki, Afrika Selatan, India dan Brasil. Karena buruknya kondisi neraca pembayaran luar negerinya, mata uang kelima negara itu sangat rentan dan peka terhadap guncangan ekonomi dunia.

Menurut Rudiger Dornbusch (alm), Guru Besar Ilmu Ekonomi terkemuka dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), krisis ekonomi itu datang secara perlahan dan pada saatnya menimbulkan dampak yang dahsyat dan berlangsung bagaikan kilat.
Penanganan masalah itu perlu tindakan langsung dari pemerintah karena tidak dapat hanya diserahkan kepada Bank Indonesia (BI) saja. Kemampuan BI untuk melakukan intervensi di bursa valuta asing sangat terbatas mengingat kecilnya jumlah cadangan luar negerinya sekitar 120 miliar dollar AS. Pada 2018 ini BI sudah menggunakan cadangan luar negerinya tersebut sebesar 7 miliar dollar AS untuk menahan peluncuran kurs rupiah.

Secara terbatas, BI dapat meminjam dari Chiang Mai Initiatives (CMI) maupun fasilitas imbal beli mata uang (currency swap facilities) dari Jepang, Korea Selatan dan China. Karena masih trauma pada persyaratan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang sangat ketat pada saat krisis 1997, BI masih menghindarkan pinjaman dari lembaga itu.

Upaya untuk merangsang pemasukan modal asing melalui kenaikan tingkat suku bunga acuan BI juga ada batasnya. Peningkatan suku bunga itu menyulitkan penerima kredit untuk melunasi utangnya. Kenaikan tingkat suku bunga di dalam negeri sekaligus menurunkan nilai saham serta obligasi dalam negeri (termasuk Surat Utang Negara (SUN) yang mendorong aliran modal keluar dari Indonesia.

Hingga akhir Maret lalu, pemodal asing telah menjual kembali SUN sebesar 2,3 miliar dollar AS dan saham senilai 1,6 miliar dollar AS serta mentransfer uangnya keluar negeri. Aliran modal keluar seperti ini semakin menyulitkan posisi neraca pembayaran luar negeri.

Sumber masalah
Keguncangan ekonomi Indonesia itu bersumber dari perubahan kebijakan ekonomi di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Inggris dan Jepang. Akibat dari kenaikan pertumbuhan ekonominya dan kenaikan tingkat laju inflasi, negara-negara itu mengubah kebijakan moneternya dari yang tadinya memompakan likuiditas dan menurunkan tingkat suku bunga. Seperti halnya Indonesia, semua negara-negara maju itu menggunakan inflation targeting dalam menetapkan kebijakan moneter.

Dalam kebijakan itu, tingkat suku bunga acuan bank sentral dinaikkan sejalan dengan semakin dekatnya tingkat laju inflasi yang terjadi dengan targetnya dan semakin dekat tingkat laju pertumbuhan ekonomi dengan potensinya. Kenaikan tingkat suku bunga di negara-negara besar itu meningkatkan biaya pinjaman internasional dan mengurangi aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk The Fragile Five. Penurunan tarif pajak pendapatan di AS semakin menarik investasi modal swasta ke negara itu, termasuk dari negara-negara berkembang.

Seperti pada 1997-1998, gabungan antara kenaikan tingkat suku bunga pinjaman luar negeri dan meningkatnya kurs rupiah telah meningkatkan beban pinjaman luar negeri. Kenaikan tingkat suku bunga dan kurs rupiah lebih dari tujuh kali lipat dari sebelum krisis hingga pada 1998 telah menyebabkan kebangkrutan semua pihak yang meminjam ke luar negeri (pemerintah, perbankan, dunia usaha dan perorangan).

Masalah sekarang ini jauh lebih rawan daripada di masa Orde Baru karena dewasa ini berbagai kementerian dan badan usaha milik negara, tanpa koordinasi, justru didorong untuk berutang ke luar negeri termasuk untuk menambah modal dan membelanjai pembangunan proyek-proyek infrastruktur.

Di masa lalu, selama 32 tahun usia Orde Baru (1966-1998), pinjaman luar negeri Indonesia adalah terutama bersumber dari pinjaman resmi, berjangka panjang dengan syarat-syarat lunak dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI.
Tidak ada kredit ekspor apalagi kredit komersil. Urusan dengan IGGI hanya dikontrol oleh satu orang, yakni Profesor Dr Wijoyo Nitisastro, ketua Bappenas. Semua pinjaman dan bantuan dari IGGI masuk dalam APBN yang disebut sebagai penerimaan pembangunan.

Pinjaman dan bantuan dari IGGI hanya digunakan untuk pembangunan proyek-proyek pembangunan yang dikontrol ketat oleh Bappenas yang mengontrol anggaran pembangunan. Melalui kontrol atas APBN, DPR dan rakyat dapat mengendalikan jumlah, syarat-syarat maupun arah penggunaan pinjaman luar negeri itu. Ini yang tidak ada pada era Reformasi sehingga DPR dan rakyat tidak sepenuhnya memiliki hak bujetnya.
Apa yang harus dilakukan

Ada berbagai tindakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk membantu BI mengatasi masalah ekonomi sekarang ini. Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan ekspor guna mendongkrak penerimaan devisa.

Indonesia merupakan pengirim jemaah haji dan umrah terbesar di dunia karena jumlah dan porsi penduduknya yang beragama Islam sangat besar. Perjalanan ibadah itu harus dapat dijadikan sebagai promosi ekspor karena memerlukan angkutan udara menuju Tanah Suci maupun angkutan darat selama berada di sana. Juga diperlukan pakaian khusus bagi jemaah laki-laki dan perempuan, makanan, penginapan maupun tempat belanja oleh-oleh.

Pakaian khusus haji dan umrah itu adalah baju ihram, baju abaya, ikat pinggang, kerudung, peci dan serban untuk menahan teriknya matahari, hingga tasbih dan sajadah. Hingga saat ini, semua jemaah Indonesia menggunakan pakaian khusus buatan China. Padahal baju ihram adalah dua lembar kain, seperti kain kafan, dan kerudung wanita, dapat diproduksi oleh tenaga kasar, tanpa pendidikan, putus sekolah dasar.

Demikian juga tasbih serta peci atau serban. Untuk mengembangkan ekspor dan menciptakan lapangan kerja, perlu dibuat aturan agar semua jemaah umrah dan haji wajib menggunakan produk dalam negeri. Dimodifikasi warna dan motifnya, kerudung yang sama dapat dijual pada wanita Katolik di Eropa yang juga menggunakan kerudung ke gereja.

Selain warung-warung kecil, di Tanah Suci tidak ada restoran Padang, soto Kudus maupun soto Banjar untuk melayani jemaah maupun pemukim Indonesia. Meniru Thailand, China dan Malaysia, Pemerintah Indonesia perlu mensponsori tumbuhnya restoran Indonesia di Tanah Suci. Dodol Garut dan jenang Kudus pun harus didorong agar bisa bersaing dengan Turkish Delights.

BUMN pun perlu didorong agar mampu meningkatkan ekspor. Misalnya meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit dan batubara ke China dan India yang pasarnya semakin terbuka. Kenapa Pabrik Kertas Padalarang, Leces, dan Pabrik Kraft Aceh tidak bisa bersaing dengan Sinar Mas Group yang telah mengekspor kertas ke mancanegara? Kenapa perusahaan perikanan Indonesia tidak mampu bersaing dengan perusahaan Thailand yang menguasai pasar ikan tuna kalengan dunia? Padahal, Indonesia merupakan salah satu sumber ikan tuna yang terbesar di dunia.

Tindakan kedua pemerintah adalah untuk meningkatkan tabungan dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada hibah serta pinjaman luar negeri. Dalam kaitan ini, penerimaan pajak perlu ditingkatkan. Sudah 73 tahun Indonesia merdeka, tapi penerimaan pajaknya merupakan salah satu yang teredah di dunia yakni sebesar 11 persen dari PDB. Akibatnya, untuk menutup defisit APBN-nya, Pemerintah Indonesia terus menerus mencetak uang dan minta sedekah atau berutang ke luar negeri. Masyarakat dalam negeri tidak percaya pada utang negara karena di masa lalu sering tidak dilunasi dan dimakan oleh inflasi yang tinggi.

Rasio rata-rata penerimaan pajak terhadap PDB di negara maju adalah 35 persen dan di negara-negara berkembang 20 persen. Mengikuti praktik di seluruh dunia, rasio pajak hanya dapat ditingkatkan melalui pemaksaan berlakunya atau penegakan (enforcement) UU dan bukan melalui amnesti.
Tindakan ketiga yang diperlukan untuk meningkat kan tabungan dalam negeri adalah dengan melakukan modernisasi lembaga-lembaga keuangan non-bank, terutama Bank Tabungan Pos, asuransi, dana pensiun dan surat utang.
Seharusnya, lembaga-lembaga keuangan non-bank ini yang menyerap surat utang negara (SUN) berjangka panjang. Dewasa ini sebagian terbesar dari aset dan kantor cabang lembaga keuangan di Indonesia adalah bertumpu pada industri perbankan. Inti industri keuangan perbankan di Indonesia adalah empat bank negara (Mandiri, BNI, BRI dan BTN) dan sejumlah BPD yang kesemuanya tidak produktif dan efisien serta memerlukan perlindungan dari pemerintah. Pemda perlu didorong untuk menjual surat utang untuk membangun pasar maupun saluran air minum daerah serta infrastruktur lainnya.

Fungsi dan peran Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dikembalikan. Kantor Pos yang memiliki kantor di segala pelosok hingga kecamatan dewasa ini tidak lagi dimanfaatkan untuk memobilisasi dana tabungan masyarakat dan mengajari mereka menggunakan lembaga keuangan modern. Dewasa ini, BTP sudah berubah menjadi BTN yang merupakan bank komersial dan pemberi kredit perumahan.

Di Uni Eropa (seperti Belanda dan Jerman) serta Jepang kantor cabang dan aset BTP lebih besar daripada bank komersial. BTP Jepang merupakan pembeli terbesar SUN negaranya dan penyandang dana utama bagi pembelanjaan UKM maupun membelanjai proyek-proyek strategis pemerintah. Di Jepang, dana BTP dijuluki sebagai APBN kedua.
Pembangunan asuransi sosial yang paling mudah dilakukan adalah asuransi kecelakaan kendaraan bermotor. Adanya asuransi kecelakaan seperti ini mengurangi konflik dan perkelahian karena tabrakan mobil dan kendaraan bermotor.
Perlu disadari bahwa kebijakan moneter berdasarkan inflation targeting hanya bisa berjalan baik jika ada dukungan kebijakan fiskal yang konservatif serta adanya lembaga keuangan yang sehat dan cukup modal. Sentralisasi kontrol atas pinjaman luar negeri pemerintah serta penggunaannya perlu dipulihkan kembali. Untuk memulihkan hak bujet DPR dan keterbukaan bagi rakyat, semua informasi tentang jumlah, sumber, syarat-syarat dan tujuan penggunaannya harus akuntabel dan dimuat dalam APBN.

Sumber : (Harian KOMPAS, 11 Juni 2018)