Prof. Rhenald Kasali Koran,Sindo,Jangan Jual Pulau, Sewa Saja

Jangan Jual Pulau, Sewa Saja Koran Sindo

Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI  & Pendiri Rumah Perubahan (@Rhenald_Kasali)

KITA semua tahu bagaimana nikmatnya dianugerahi serba berkelimpahan. Laut kita luas, ikannya banyak. Matahari bersinar tanpa putus-putusnya. Garis pantai panjang sekali. Jumlah pulau-pulau kita sangat banyak, mencapai 17.508, dan membuat kita menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Tapi, negeri kita juga serba tertinggal. Infrastruktur payah. Sudah payah banyak sekali yang mengatakan ini dan itu tak boleh. Maklum banyak pengamat sekaligus menjadi lobbyist tapi tidak declare.

Selama lebih dari 30 tahun, panjang jalan tol yang kita bangun belum sampai 1.000 kilometer. Kita tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga. Malaysia punya jalan tol sepanjang 3.000-an kilometer, sementara Korea Selatan sudah 2.600-an kilometer. China? Jangan tanya. Panjang jalan tol di sana sudah mencapai 85.000 kilometer.

Kita tertinggal dalam penyediaan tenaga listrik bagi rumah-rumah tangga. Baru sekitar 88% rumah tangga se-Indonesia yang teraliri listrik (istilahnya, rasio elektrifikasi). Itu sebabnya pada malam hari masih banyak desa di Indonesia yang gelap gulita.

Kita juga tertinggal dalam membangun bandara. Itu sebabnya banyak terminal bandara kita yang penuh sesak, melampaui daya tampungnya.

Itu sebabnya meski kita punya banyak tujuan wisata yang eksotis, tak banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Kita tertinggal dalam membangun pelabuhan laut. Sampai saat ini kita baru memiliki 4 pelabuhan internasional (Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Mas di Semarang dan Tanjung Perak di Surabaya).

Saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih 3.000-3.500 kilometer. Ini terlalu jauh. Sebagai perbandingan, jarak antarpelabuhan di Thailand sudah 50 kilometer, atau di Jepang berkisar 15 kilometer. Itu sebabnya nelayan-nelayan di dua negara tersebut lebih makmur.

Banyaknya pelabuhan membuat nelayan-nelayan di sana mudah menjual ikan. Sementara di negara kita, karena jarak antarpelabuhan masih begitu longgar, penyelundupan terjadi di mana-mana.

Dan, masih banyak lagi ketertinggalan kita. Kita masih membutuhkan banyak bangunan sekolah, pasar—termasuk tempat pelelangan ikan, instalasi pengolahan air bersih, jembatan, banyak rumah sakit. Dan, seterusnya. Lalu, bagaimana kita memenuhinya?

Banyak Wacana

Saya mengikuti gagasan yang dilontarkan oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan soal sewa pulau. Menteri Luhut memang sangat pragmatis. Anda tahu, kita tercatat memiliki 17.508 pulau, tetapi 6.000-an di antaranya kosong tidak berpenghuni. Mau diapakan aset-aset yang “menganggur” tersebut? Dibiarkan begitu saja, atau dimanfaatkan agar menghasilkan penerimaan untuk negara?

Diskursus soal sewa atau jual pulau ini sebetulnya sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Wacananya sudah berkembang ke mana-mana. Hitung-hitungannya juga sudah ada. Namun, sampai sekarang belum ada keputusan bulat dan mengikat yang kita hasilkan.

Lain pada tataran wacana, lain pula pada kenyataan di lapangan. Kalau pada tingkat kebijakan tak kunjung putus, di lapangan sudah belasan pulau, katanya, terjual. Sebagian lainnya disewakan. Modusnya, pulau itu disewakan ke orang lokal, dan orang lokal tersebut kemudiannya menyewakannya ke orang asing.

Begitulah potret birokrasi kita. Lamban, kurang responsif dan antisipatif. Di jajaran atas pemikirannya kerap melompat jauh ke depan, tetapi di level menengah bawah eksekusinya begitu lamban. Maklum aturannya berbelit-belit dan kadang bertentangan, manusianya banyak takutnya karena juga banyak yang menakut-nakuti.

Akibatnya, ketika suatu kebijakan  akhirnya keluar, kondisi di lapangan ternyata sudah banyak berubah. Maka, jadilah regulasi itu ketinggalan zaman. Lalu, ada juga regulasi yang kualitasnya memprihatinkan.

Banyak regulasi yang dibuat dengan kerangka berpikir masa lalu. Kemudian regulasi itu diotak-atik sedikit supaya terkesan ada perubahan. Hasilnya adalah regulasi yang hanya maju selangkah ke muka. Bukan lompatan yang menyongsong jauh ke masa depan.

Celakanya, Anda tahu, di jajaran pembuatan regulasi kadang juga dijadikan proyek. Ada ongkosnya, ada honornya. Mulai dari honor rapat-rapat, mendatangkan para pakar, sampai studi banding. Itu dilakukan bukan demi kualitas regulasi itu sendiri, melainkan atas nama proyek.

Pro Kontra

Baiklah saya mau memotret sedikit pro kontra di masyarakat soal sewa atau jual pulau ini. Saya sempat browsing ke berbagai milis yang membahas soal penyewaan pulau. Pro kontranya kurang lebih begini. Ada yang mem-posting keluhan.

Ketika dia dan beberapa koleganya berkunjung ke sebuah pulau di pesisir selatan Sumatera Barat, kehadirannya ditolak penghuni oleh penghuni pulau. Ia penasaran. Lalu, ia tanya sana-sini. Rupanya pulau itu memang sudah disewa oleh orang asing.

Ketika dia datang, di sana kebetulan sedang banyak tamu. Ia pun mengungkapkan kegeramannya. Bagaimana bisa orang asing melarang kita menginjakan kaki di Tanah Air kita sendiri?

Kegeraman tersebut dengan cepat menjadi viral. Lalu, mencuatlah gagasan untuk membuat petisi yang melarang penyewaan pulau-pulau oleh orang asing. Jadi ramai lagi. Saya sebetulnya agak heran dengan keluhan tersebut. Saya akan menjelaskannya dengan contoh yang sederhana.

Kalau Anda punya tiga rumah, dan kebetulan dua di antaranya tidak dipakai. Ketimbang kosong, tidak terawat dan tidak produktif, Anda memutuskan untuk mengontrakkan rumah tersebut. Rumah tersebut jadi terawat, dan Anda pun memperoleh penghasilan tambahan. Tapi, tentu ada konsekuensinya.

Selama masa sewa, rumah tersebut tentu dikuasai oleh sang penyewa. Anda tak bisa sembarangan masuk ke rumah tersebut—rumah yang notabene masih milik Anda. Kecuali kalau dalam keadaan darurat. Misalnya, ada kebakaran, mendengar suara ledakan dari dalam rumah, atau kejadian yang bersifat force majeure.

Kondisi semacam biasanya diatur dalam perjanjian sewa menyewa. Apakah Anda keberatan dengan kondisi tersebut? Sama sekali tidak. Sudah sewajarnya begitu.

Kalau kita mau masuk ke rumah kita yang disewakan tadi, sepantasnya tentu harus minta izin kepada sang penyewa. Jangan nyelonong begitu saja. Nanti disangka maling! Dan, ada alasan yang jelas untuk apa Anda mesti masuk ke rumah tersebut.

Begitu pula dengan penyewaan pulau oleh orang asing, atau siapa pun—termasuk oleh orang lokal. Oleh karena sudah disewa, tentu kita tak bisa sembarangan ke luar masuk pulau tersebut. Mesti izin kepada sang penyewa. Maka, gagasan petisi tadi—apalagi kalau argumentasi “kita tak bisa menginjakan kaki di Tanah Air sendiri”—terasa mengada-ada. Ada kesan, kita tak tahu aturan. Utamanya tentang sewa menyewa.

Bicara soal sewa pulau, ini menarik. Pertama, menurut saya, petisi tadi cermin dari masih kuatnya gagasan tentang owning ketimbang sharing dan empowering di masyarakat kita.

Bagi mereka, lebih penting memiliki ketimbang memanfaatkannya. Ini tentu pemikiran lama. Kita harus mulai meninggalkan pemikiran semacam ini.

Kedua, kita sewakan saja—dan jangan dijual, pulau-pulau kosong dan tak bernama tadi untuk, katakanlah, hingga 30 tahun ke depan. Kepada siapa pun, orang kita atau orang asing. Hanya seluruh uang sewanya mesti dibayar sekarang. Uang itulah yang kita gunakan untuk mengejar berbagai ketertinggalan kita dalam membangun infrastruktur, terutama infrastruktur yang mendukung industri pariwisata. Selebihnya kita mesti membereskan aturan soal ini. Kalau bisa perizinannya dibuat satu pintu, dan jangan terlalu rigid. Sekarang ini kesannya kita mau uangnya, tapi tidak membutuhkan penyewanya. Mana bisa!

https://nasional.sindonews.com/read/1176247/18/jangan-jual-pulau-sewa-saja-1485962574/