Mempelajari RUU JPSK : Prof. J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Mempelajari RUU JPSK

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

 22 Oktober 2015

Akhir Agustus lalu, pemerintah menyampaikan suatu Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan kepada Komisi XI DPR untuk memperoleh persetujuan agar dapat diundangkan.

JITET

Indonesia perlu segera memiliki UU yang mengatur tata cara bagaimana otoritas keuangan melaksanakan tugas secara efektif, efisien, transparan, dan pasti untuk memelihara serta menyelesaikan masalah stabilitas sistem keuangan (SSK).

Apa itu UU JPSK?

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa UU ini mengatur bagaimana otoritas yang mengatur dan mengawasi serta yang mendukung operasi lembaga-lembaga keuangan bank dan nonbank, baik secara sendiri-sendiri dan dalam kerja sama antar otoritas terkait, menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.

Menurut peraturan perundangan yang ada, Indonesia memiliki empat otoritas keuangan dengan tugas kewenangan masing-masing. Mereka adalah Bank Indonesia (BI) bertugas menjaga kestabilan makro, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pengaturan dan pengawasan mikro lembaga keuangan bank dan nonbank, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengelola penjaminan lembaga keuangan bank dan Kementerian Keuangan menjalankan otoritas fiskal.

Menurut Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK), keempat otoritas di atas tergabung dalam koordinasi yang dibentuk dengan UU JPSK, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK dengan menggunakan JPSK yang dibentuknya bertugas melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan SSK, dan menangani masalah SSK dalam kondisi tidak normal, serta masalah bank-bank dalam kategorisystemically important bank (SIB). KSSK diketuai Menteri Keuangan.

Memelihara kestabilan sistem keuangan dan menangani masalah yang dihadapi SSK merupakan dua tugas pokok KSSK. Buat saya istilah memelihara kestabilan sudah termasuk menangani masalah yang dihadapi. Namun, tampaknya dalam bahasa perundang-undangan keduanya disebutkan sebagai tugas terpisah.

Dalam RUU digunakan istilah “kondisi tidak normal” yang didefinisikan sebagai kondisi sistem keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan. Menurut penjelasan dalam naskah akademis, hal ini untuk menghindari kata-kata krisis maupun keadaan darurat yang dianggap kurang tepat. RUU juga memuat ketentuan tentang bank-bank yang berdasarkan besarnya aset dan pengaruhnya terhadap sistem keuangan dianggap menentukan, digolongkan dalam bank SIB.

Apa yang disebut sebagai kondisi tidak normal ataupun bank-bank yang dikategorikan bank SIB akan atau predetermined, tidak menunggu sampai berkembang kondisi demikian. Dalam penanganan krisis 2008/2009, penentuan tentang kondisi “krisis yang berdampak sistemik” ditentukan KSSK atas usulan BI. Akan tetapi, hal ini menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan pada waktu timbul pembahasan tentang Bank Century. Ketentuan tentang hal-hal ini dalam RUU diputuskan secara dini untuk menghindari perdebatan di kemudian hari.

Dalam RUU ini ditentukan pula tentang cara penanganan terhadap bank SIB yang menghadapi masalah dalam keadaan tidak normal. RUU juga menentukan persyaratan yang harus dipenuhi dan cara penyelenggaraan penyediaan pinjaman likuiditas dari BI sebagai lender of last resort (LOLR). Hal ini tentu mengingat pengalaman penanganan krisis 1997/1998 dengan permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menghebohkan, di mana sampai sekarang masih banyak yang tidak dapat atau mau membedakan antara bantuan likuiditas untuk mengatasi kesenjangan likuiditas dan bantuan permodalan untuk mengatasi kekurangan modal, antara masalah likuiditas dan masalah solvabilitas.

LPS memberikan penjaminan kepada lembaga keuangan atas dana yang dititipkan masyarakat kepada lembaga keuangan bank. LPS juga menangani bank yang mengalami masalah dalam permodalannya setelah diputuskan KSSK.

Dalam menangani bank yang menghadapi masalah permodalan yang memerlukan pembiayaan dari APBN (bail out) diusahakan agar seminimal mungkin menggunakan dana APBN. Untuk itu harus dimulai dahulu dengan penyelamatan berdasarkan rencana dari bank yang bersangkutan dengan mengikutsertakan peran swasta atau bank-bank lain. Dalam literatur keuangan-perbankancara ini dikenal sebagai penanganan masalah bank melalui bail in. RUU memuat ketentuan tentang persyaratan dan cara penyelamatan bank bermasalah dengan menggunakan dana APBN atau bail out.

Beberapa catatan

Sangat bagus untuk menekankan upaya penyelamatan bank yang menghadapi masalah modal melalui bail in terlebih dulu. Kalau hal ini belum dapat menyelesaikan masalah, baru dilakukan bail out, menggunakan dana APBN. Semua harus dilaksanakan dengan program yang jelas, transparan, dan sesedikit mungkin menggunakan dana yang berasal dari pembayar pajak. Penyelamatan bank bermasalah melalui bail in bukan barang baru. Dalam penanganan krisis 1997/1998, cara ini juga telah digunakan, terutama sebelum krisis menjadi sistemik, tetapi sudah in distress.

Di BI waktu dilakukan upaya bail in dikenal istilah “bank dalam nursing“. BI sebagai pengawas bank membantu bank yang menghadapi masalah pemenuhan kecukupan modal dengan menawarkan kepada bank-bank swasta dan pemerintah yang sehat dan bersedia membantu bank yang menghadapi masalah permodalan. Ini adalah suatu cara bail in dalam penyelamatan bank.Bail out yang dilaksanakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional baru dilakukan kemudian setelah bank bermasalah menjadi besar jumlahnya dan dikaitkan dengan APBN.

Amerika Serikat juga melakukan tindakan serupa. Pada 1998, LTCM, suatu bank investasi sangat besar di Wall Street, “diselamatkan” dengan menggunakan dana dari bank-bank lain yang bersedia dengan perantaraan Fed New York. Dalam penanganan krisis 2008, AS semula melakukan tindakan penyelamatan terhadap Bear Stearns yang dengan perantaraan Fed dibeli JP Morgan. Merrill Lynch dibeli Bank of America, dan seterusnya. Anehnya kemudian Fed membiarkan Lehman Brothers membangkrutkan diri, September 2008. Baru setelah dampaknya membahayakan, Kementerian Keuangan dan Fed melakukan bail out AIG, Fannie May dan Freddie Mac, dan yang lain, termasuk industri otomotif melalui program Troubled Assets Relief Program (TARP), dengan dana APBN ratusan miliar dollar.

Sebenarnya bank sentral memang menggunakan cara bail in terlebih dahulu sebelum melakukan bail out dalam menyelamatkan bank, termasuk BI waktu penanganan krisis 1997/1998. Sayangnya, dalam naskah akademis RUU sangat sedikit referensi pada pengalaman 1997/1998 ataupun 2008/2009 kecuali disebutkan bahwa penanganan krisis 1997/1998 yang lalu tak efisien dengan mengutip suatu kertas kerja Dana Moneter Internasional tulisan seorang staf (Charles Enoch).

Sebenarnya studi yang mendalam tentang pengalaman penanganan krisis 1997/1998 maupun 2008/2009 secara lebih mendalam akan sangat bermanfaat. Yang tak baik dibuang, yang baik disempurnakan lagi untuk digunakan. Sebenarnya cukup banyak yang sudah dituliskan oleh sejumlah individu, termasuk saya sendiri. BI juga menerbitkan buku Sejarah Bank Indonesia, 1945-2003 dalam enam jilid. Dalam jilid 5 dibahas masalah krisis 1997/1998.

Mengenai mengganti istilah “krisis” atau “krisis dengan dampak sistemik” menjadi “kondisi tidak normal”, saya kurang tahu apakah menambah kejelasan. Dalam literatur keuangan perbankan dibedakan “banking in distress” dengan “banking crisis“, dan “contagion” atau “systemic crisis“. Akan tetapi, semua ini tidak perlu menjadi masalah. Yang penting adalah definisi dan batasannya harus jelas, apa itu kondisi tidak normal, kriteria bank SIB, dan lain-lain. Tanpa kejelasan dari hal-hal itu, masalah dapat timbul pada waktu otoritas menghadapi krisis. Tesnya memang kalau timbul kondisi tak normal, atau krisis. Persiapan yang bagus akan sangat menolong, tetapi sesempurna apa pun tampaknya hal-hal yang tak diperhitungkan sebelumnya dalam kondisi yang sarat ketidakpastian ini dapat timbul.

Kejelasan ini sangat penting untuk menentukan akuntabilitas otoritas. Apalagi kalau di kemudian hari ada masalah hukum, di mana akan ada yang memilih bersikap tidak tahu agar terbebas dari konsekuensi hukum daripada mengaku tahu dan harus bertanggung jawab.

Dalam RUU JPSK ketentuan tentang imunitas bagi pengambil kebijakan dihilangkan. Saya menyadari hal ini sudah lama menjadi perdebatan. Akan tetapi, ketentuan demikian mengandung risiko bahwa otoritas keuangan takut membuat kebijakan karena risiko kriminalisasi keputusan yang dilakukannya di kemudian hari. Mungkin hal yang dapat mengurangi berkembangnya kecenderungan ini adalah kalau tanggung jawab ini semuanya ditarik kepada Presiden.

Saya sangat mendukung cepat lahirnya UU JPSK, tetapi juga sangat berharap tidak akan ada kriminalisasi kebijakan yang dilakukan pejabat yang dengan itikad baik, secara profesional menjalankan tugas yang diyakini sesuai dengan ketentuan perundangan yang mendasarinya. Tuntut dan adililah para koruptor, tetapi semoga tidak ada kriminalisasi kebijakan yang dibuat oleh pejabat yang menjalankan tugas sesuai dengan kewenangannya.

Urgensi UU JPSK

Perekonomian dunia sudah beberapa waktu menghadapi kondisi tidak menentu atau tidak pasti yang belum tampak ada perubahan ke arah lebih baik sampai kini. Empat tahun lalu Forum Ekonomi Dunia menerbitkan peta risiko yang dihadapi dunia, digolongkan dalam lima kelompok: ekonomi, lingkungan, sosial, geopolitik, dan teknologi. Tidak terlalu sulit bagi seseorang untuk menunjukkan contoh di setiap kelompok bahwa risiko tersebut dewasa ini masih tinggi. Celakanya, krisis keuangan dunia 2008 yang diikuti dengan resesi akbar (great recession) dan krisis keuangan zona euro serta Yunani telah menyebabkan kondisi kelembagaan dalam arti luas (governance), baik di tingkat global, regional, maupun nasional dalam keadaan lemah untuk menghadapi risiko global yang tinggi dan meningkat.

Perkembangan terakhir, dengan laju pertumbuhan dunia melambat, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang menurun dan kebijakan rebalancing-nya serta berakhirnya apa yang dikenal sebagai “super cycle” komoditas menuntut semua membuang sikap business as usual. Suasana pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Lima, Peru, baru-baru ini diliputi rasa waswas bahwa perekonomian negara-negara berkembang bisa memasuki kondisi tidak normal. Dalam saling keterkaitan perekonomian semua negara, hal tersebut dapat menyebabkan kembalinya tekanan resesi dunia karena peran perekonomian negara-negara berkembang di dunia yang dalam sepuluh tahun terakhir meningkat dari 19 persen menjadi 29 persen.

Menghadapi kondisi lingkungan seperti ini, adanya UU JPSK yang boleh menjadi pegangan bekerjanya keempat otoritas keuangan secara sendiri-sendiri dan dalam kebersamaannya di bawah koordinasi KSSK adalah suatu yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Guru Besar Emeritus Ekonomi UI dan Professor of IPE, RSIS, NTU