World Universities Debating Championship 2017

DEPOK – World Universities Debating Championship (WUDC) 2017 diadakan di Den Haag (Belanda) pada 27 Desember 2016 – 4 Januari 2017. WUDC merupakan lomba debat bahasa Inggris untuk mahasiswa yang berskala besar dan Internasional.

Tim finalis yang keikutsertaan pada lomba ini berasal dari seluruh dunia. Pada tahun ini, ada 400 tim dari 150 universitas di dunia termasuk Indonesia, di antaranya Sydney University (Australia), Stanford University (Amerika Serikat), Harvard University (Amerika Serikat), IIUM (Malaysia), UI, UGM, ITB, Binus, Atmajaya, Parahyangan, dan masih banyak lagi.

Untuk Universitas Indonesia (UI) turut mengirimkan mahasiswanya untuk mengikuti lomba tersebut. Tetapi, sebelum itu ada seleksi kompetisi internal yang diikuti oleh semua Fakultas di UI, termasuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Namun, tetap di bawah naungan organisasi English Debate Society (EDS) UI. Mereka akan melewati tiga fase debat dan dipilih menjadi enam pembicara terbaik. Setelah itu, enam kandidat tersebut memasuki karantina untuk berlatih bersama pelatih. Dan pelatihlah yang akan membagi enam kandidat tersebut ke dalam tiga tim yang saling berpasangan dan bisa mewakili UI ataupun organisasi EDS UI dalam ajang lomba tersebut. Salah satunya tim berpasangan yang berasal dari FEB, yakni Alif Azadi Taufik dan Regina Cara Riantoputra.

Dalam WUDC tahun ini, untuk menjadi juara harus memenuhi tiga kategori penilaian, yaitu matter/substansi sebesar 40%, gaya bicara sebesar 40%, dan strategi 20%. Ini yang harus dipersiapkan oleh semua tim finalis, termasuk tim dari UI yang mempersiapkan diri untuk mempelajari cara menggabungkan ketiga unsur kriteria penilaian tersebut dalam menyampaikan pendapat/pidato dengan substansi, logika, dan operasi yang kuat. Tetapi, dalam menyampaikan pendapat harus menggunakan gaya bicara yang mudah dipahami dan forum pembahasannya harus sesuai. Itu semua harus didukung dengan strategi tertentu yang sudah dipelajari dalam berdebat untuk hal membantah argumen-argumen dari tim lawan.

‘We will never know, before we do so. Remember one thing, the work we do will be worth it’

 Alif dan Carra sapaan akrabnya yang menjadi salah satu tim perwakilan UI dan organisasi EDS UI mengakui pesaing dalam lomba debat inggris tersebut sangatlah berat. Mereka semua merupakan tim pilihan terbaik dari setiap universitas masing-masing negara. Tentu, lawan mereka berdua yang terberat berasal dari Sydney University yang tahun ini menjadi juara pertama WUDC, Stanford University, Harvard University, dan IIUM.

Walaupun tim mereka tidak dinobatkan juara, tetapi ada suatu kebanggaan yang diraih, yaitu tim EDS UI berhasil memecahkan rekor tim dengan kategori nilai tertinggi perwakilan dari universitas di Indonesia dan menjadi urutan pertama dari semua tim finalis universitas-universitas lainnya di Indonesia yang menjadi peserta pada lomba ini. Selain itu, tim EDS UI menjadi peringkat ke-49 dari seluruh dunia dan Alif berhasil mendapatkan peringkat ke-8 dengan kategori pembicara terbaik bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Ini merupakan pencapaian pertama dan terbaik sepanjang perjalanan WUDC yang diperoleh oleh perwakilan universitas dari Indonesia.

‘Masalah adalah sebuah kesempatan untuk menunjukkan kemampuan terbaik kita’ ~ Duke Ellington ~

 Tim UDS UI, Alif dan Carra, mengatakan bahwa sebelum terjun langsung dalam lomba tersebut, mereka mengalami hambatan dan masalah, di antaranya masalah latihan, meskipun mereka sudah berpengalaman mengikuti lomba debat Inggris tingkat Nasional, namun untuk debat Inggris skala besar dan Internasional sangatlah berbeda dari standar dan gaya debatnya. Kemudian proses mendapatkan dana tentu tidaklah mudah. Mereka dalam mengurus administrasi ke pihak kampus sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan. Meskipun begitu, akhirnya mereka mendapatkan dana untuk berangkat ke sananya dari pihak Rektorat UI dan pihak FEB UI yang sudah mendukung dalam hal prestasi mahasiswanya. Sehingga, kami tak perlu mencari sponsor dari luar kampus.

Selain itu, EDS UI kesulitan dana untuk ikut ajang debat Internasional lainnya dalam skala kecil yang menjadi ajang latihan dan menggali kemampuan lebih mendalam sebelum terjun ke dabat Internasional skala besar, yaitu WUDC. Namun, itu semua bukanlah faktor penghambat kami untuk bisa berprestasi di ajang WUDC dan kami bertanggung jawab dan menunjukkan kepada pihak Rektorat UI dan FEB UI yang telah mendukung dan memberikan dana.

 ‘Learn from rain sacrifice, who would fall many times in order to create a rainbow’

Prospek ke depannya, kami akan mengikuti WUDC di tahun depan yang diadakan di Mexico pada tanggal yang sama. Kami menargetkan mendapat urutan yang lebih tinggi dan masuk ke-48 besar, karena urutan tersebut bisa menghantarkan kami ke babak eliminasi dan berpeluang menjadi juara.

Mereka yakin selama mengikuti WUDC ini mendapatkan pengalaman dan ilmu secara luas mengenai isu-isu topik yang dibahas di tengah masyarakat dunia yang sedang dialami, melatih public speaking dan berpikir bukan hanya logis, tetapi harus cepat, serta bertemu dengan orang-orang hebat di bidang debat.

‘Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia’ ~ Ir. Soekarno ~

Mereka berdua berpesan untuk generasi penerus bangsa ini dari yang didapatkan selama mengikuti ajang ini, yakni generasi muda tidak boleh takut untuk berbicara dalam menyampaikan pendapat, karena budaya di Indonesia dalam hal berpendapat orang muda selalu nurut dengan orang yang tua dan itu tetap budaya baik bukanlah buruk, tetapi dampaknya anak muda jadi terbatas ruang untuk menyampaikan opininya, karena opini dari anak muda sangat penting dan anak muda lah yang akan menjadi penerusnya.

Selain itu, di Indonesia ini sangat beragam karakter manusianya dan seringkali kita tidak sependapat dengan orang lain. Jadi, untuk generasi muda harus lebih terbuka terhadap orang lain daripada bertengkar lebih baik berdialog, berdiskusi, dan mencoba memahami satu sama lain dan membantu untuk mencari solusi pada suatu masalah. Daripada alternatif lainnya yang kurang nyaman dan kurang kondusif satu sama lain.

Penulis   : Nino Eka Putra

                  Humas FEB UI, 2017