Leonardo Kamilius (Alumnus Akuntansi FEB UI), “Tukang Paksa” Menabung, Kompas , Jumat, 12 Mei 2017

Leonardo Kamilius

“Tukang Paksa” Menabung

Kompas , Jumat, 12 Mei 2017

 Oleh Saiful Rijal Yunus

 

Meski mengaku tidak piawai mengatur uang, Leonardo Kamilius (33) “memaksa” ribuan ibu-ibu untuk menabung. Memulai dengan program pinjaman di koperasi, dia berupaya menanamkan prinsip-prinsip dalam menabung. Kerja kerasnya berhasil merangkul belasan ribu ibu rumah tangga di kawasan miskin di Jakarta Utara.

“Saya belajar (menabung) ketika berbagi sama ibu-ibu itu. Waktu masih (kerja) di McKinsey Indonesia malah enggak atur duit sama sekali,” kata Leon, ayah tiga anak ini.

Leon adalah pendiri Koperasi Kasih Indonesia (KKI) yang telah beroperasi sejak 2011. Koperasi ini didirikan Leon bersama Bruder Petrus Partono dan Lucyana Siregar.

Jumat (9/6) siang lalu, kami bertemu di kantor KKI. Rumah berlantai tiga di sebuah lorong selebar 2 meter di Jalan Kalibaru Timur, Jakarta Utara, itu disulap menjadi kantor. Beberapa orang karyawan di lantai satu bekerja di depan komputer.

Dalam tujuh tahun terakhir, total peserta koperasi mencapai 16.000 orang dengan anggota yang aktif sebanyak 7.400 orang. Mereka tersebar di Kecamatan Cilincing, Koja, Tanjung Priok.

Kawasan Jakarta Utara, khususnya Cilincing, dipilih KKI sebagai daerah operasi karena ini adalah wilayah yang paling jomplang dengan wilayah lainnya di Jakarta yang gemerlap. Tingkat kemiskinan di kecamatan itu cukup tinggi. Sebagian besar rumah tangga ditopang kepala rumah tangga yang bekerja sebagai buruh pabrik, buruh pelabuhan, nelayan, atau pedagang kecil.

Sejak awal, KKI menyasar perempuan. Hingga sekarang peserta KKI seluruhnya perempuan. Mereka dianggap jauh lebih piawai mengatur keuangan dibandingkan dengan laki-laki. Para ibu yang ingin bergabung dengan koperasi diharuskan memiliki usaha kecil. Setidaknya pernah menjalankan usaha.

Pada dasarnya, KKI menyediakan modal usaha untuk peserta dengan model kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima hingga 15 orang. Tiap-tiap kelompok bertanggung jawab terhadap anggotanya masing-masing. Dalam proses meminjam yang berkisar Rp 500.000 hingga Rp 5 juta, setiap peserta juga diwajibkan untuk menabung. Jika meminjam Rp 500.000, misalnya, maka peminjam harus membayar cicilan sebesar Rp 35.000 selama 25 minggu.

Nilai itu cukup besar karena apabila ditotal uang yang mereka bayar mencapai Rp 875.000. Namun, jangan salah sangka, karena Rp 300.000 dari nilai itu akan dikembalikan ke peminjam dalam bentuk tabungan. Sebanyak Rp 75.000 adalah bunga pinjaman. “Menabung adalah hal yang kami tekankan terus menerus. Karena itu, tiga pilar utama dari koperasi kami adalah peminjaman, menabung, juga pelatihan,” ujar Leon.

Pelatihan, lanjut Leon, penting untuk menanamkan “mimpi” kepada ibu-ibu. Bisa dibayangkan bagaimana peserta yang hampir semua berada di bawah garis kemiskinan untuk bermimpi pun susah. “Dengan kata lain, mereka dipaksa menabung mimpi,” katanya.

Karena itu, setelah lolos seleksi menjadi anggota, setiap peserta wajib memperoleh pelatihan. Peserta didorong mempunyai mimpi tentang sesuatu yang telah lama dicita-citakan. Baik itu tentang sekolah anak, naik haji, atau memiliki kediaman yang lebih baik. Dengan begitu, peserta termotivasi mengejar mimpi lewat usahanya.

Leonardo Kamilius

Lahir:

28 Juli 1985

Istri:

Johanna Setiawan

Anak:

  1. Kennedy Hatta Kamilius
  2. Jeremiah Lincoln Kamilius

 

Pendidikan:

  1. TK-SMA St Theresia Jakarta
  2. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kegiatan:

  1. Pendiri Koperasi Kasih Indonesia sejak 2011
  2. Pemateri di berbagai institusi dan lembaga sejak 2012

Meski awalnya sulit, hal itu tidak menyurutkan semangat Leon dan rekan-rekannya di koperasi. Namun, dengan model mencicil sembari menabung, peserta bisa memaklumi. Bahkan, peserta heran karena bisa mencicil, tetapi mendapatkan uang kembali.

Total tabungan semua peserta jumlahnya cukup besar, sekitar Rp 2,8 miliar atau sepertiga aset koperasi yang senilai Rp 7,8 miliar. Dengan prinsip meminjam sembari menabung, para peserta pada dasarnya saling membantu. Pola meminjam diambil dari model Grameen Bank yang didirikan peraih Nobel Ekonomi Muhammad Yunus.

“Ada yang mulai menabung untuk naik haji, ada yang usahanya berkembang. Ada juga yang baru sekali ikut, lalu mengambil ilmu manajemen keuangan, dan mengelola keuangannya sendiri. Kami bahagia jika mereka sudah bisa mandiri,” kata Leon.

Mengenali diri

Leon remaja hingga dewasa bukanlah tipe orang yang sedari kecil punya tujuan mulia membantu sesama. Dia pernah nakal, lalu memutuskan harus belajar giat. Sejak lulus SMA, dia mulai ambisius. Leon tipikal orang yang memburu tujuan dengan segala cara. Sikap ambisiusnya semakin menggelora ketika kuliah. Dia mengikuti banyak lomba ketika kuliah. Tipikal mahasiswa yang tidak disenangi teman sekelasnya karena sangat rajin.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2008 dengan predikat terbaik, dia langsung jadi orang kantoran. Ia bekerja di perusahaan konsultan bisnis skala internasional, McKinsey Indonesia.

Di sela-sela pekerjaannya yang mentereng, dia merasa harus melakukan sesuatu. Hatinya tergerak untuk berbuat sesuatu. “Saat itu ada gempa di Padang. Saya ambil cuti lalu ikut menjadi relawan. Saya ikut basah, berlumpur, tidur bersama, dan lainnya. Orangtua saya tidak begitu berpunya, tetapi selama ini saya belum pernah mengalami hal seperti itu. Anehnya, saya bahagia,” ujarnya.

Dalam bayangannya, dia harus merancang program yang bisa membantu banyak orang meski tidak ada bencana alam. Sayangnya, dia harus menghadapi kenyataan pahit. Akibat pikirannya yang tidak fokus, kinerjanya turun, dan dia dikeluarkan oleh perusahaan.

Saat itu hidupnya di titik nadir. Ia tidak bekerja, sementara istrinya sedang hamil anak pertama. Namun, tekadnya sudah bulat. Dia harus menjalani “panggilan” sebagai pembantu masyarakat miskin.

Di saat seperti itu, ia dipertemukan dengan beberapa orang yang cukup “gila”. Orang-orang yang mau meninggalkan zona nyaman untuk ke Cilincing mengembangkan koperasi. Beberapa di antaranya lulusan luar negeri, bekerja di perusahaan multinasional.

Akan tetapi, perjalanan Leon dan rekan-rekannya tidak mulus begitu saja. Leon mengaku orang yang egois, ambisius, dan selalu berorientasi hasil. Sifatnya tersebut kadang berbenturan dengan beberapa orang.

“Tidak terhitung tantangan yang kami hadapi. Koperasi ini juga sempat hampir bubar dengan berbagai masalah. Namun, sampai sekarang masih bertahan. Di sini, saya paling banyak belajar mengenal diri. Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang untuk saling membantu, saling memperbaiki diri. Agar saya tidak egois, dan bisa semakin redah hati,” ujarnya.

Lansia sebagai Anugerah (LILIS HERI MIS CICIH) Setiap orang mengharapkan umur panjang, dan itu salah satu doa yang dipanjatkan ketika ulang tahun tiba. Seiring lagu yang dinyanyikan, orang berharap panjang umur dengan sejahtera, sehat, sentosa, dan bahagia. Hidup lebih lama dapat menjadi anugerah jika orang itu ditunjang jaminan pendapatan, dan masih aktif berpartisipasi. Tantangan tidak mudah bagi bangsa Indonesia untuk melakukan investasi SDM sejak dini. Bagaimana mempersiapkan penduduk supaya berkualitas? Indonesia saat ini sedang menua dengan persentase penduduk usia 60 tahun ke atas lebih dari 7 persen. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 BPS, persentase lansia 8,5 persen dari 255,2 juta total penduduk. Selain itu, juga terjadi pergeseran komposisi umur ke arah penduduk tua. Kurun 2010-2035, semula dari setiap 100 penduduk usia 0-14 tahun hanya terdapat 23 lansia, meningkat menjadi 73 lansia (UNFPA, 2014). Peningkatan jumlah lansia perlu diiringi kondisi kesehatan, sosial, dan ekonomi yang memadai. Meski kondisi kesehatan yang dicerminkan usia harapan hidup (UHH) meningkat, perlu melihat kondisi kesehatan penduduk secara riil. Data BPS, UHH 2015 mencapai 71 tahun. Angka ini angka hipotetis yang memperlihatkan rata-rata tahun hidup yang akan dijalani seseorang, tak berarti setiap orang yang lahir pada 2015 akan mati pada 2086. Meski angkanya cukup tinggi, diperkirakan sekitar delapan tahun penduduk Indonesia kehilangan masa hidup sehat. Hal ini dapat dilihat dari data Global Health Observatory (GHO)-WHO, usia harapan hidup sehat (HALE/healthy life expectancy) sekitar 62 tahun. Upaya meningkatkan kesehatan penduduk dilakukan antara lain dengan mencegah kematian akibat berbagai penyakit.Menurut Kementerian Kesehatan, telah terjadi pergeseran penyakit penyebab kematian, terbanyak sejak 2010 diakibatkan oleh penyakit tidak menular. Stroke, jantung, kanker, dan diabetes merupakan urutan penyakit dengan persentase tertinggi diderita penduduk, dan diperkirakan kian meningkat. Perubahan budaya ke arah modernisasi dan gaya hidup tak sehat salah satu pemicu timbulnya penyakit. Kondisi ini bagi sebagian besar orang mungkin sulit dihindari, apalagi disertai stres sehingga perlu kemampuan mengelola. Data lain menunjukkan penurunan angka kesakitan lansia sebesar 3 persen dalam kurun 2011-2014 menjadi 25 persen. Semua ini tak terlepas dari perjalanan hidup seseorang sejak usia muda. Jika investasi kesehatannya bagus, saat lansia masih dapat menikmati kehidupan dengan baik, dan bukannya kondisibedridden dan tergantung pada bantuan orang lain. Jika kondisi ini tak diantisipasi dari sekarang, beban pembiayaan kesehatan yang harus ditanggung pemerintah kian berat. Apalagi, pemerintah menjamin semua orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan (universal health coverage) melalui BPJS Kesehatan. Total biaya pelayanan kesehatan yang sudah dikeluarkan tahun 2014 saja Rp 4,25 triliun. Dari sisi jaminan pendapatan, masih banyak lansia Indonesia keburu tua sebelum kaya. Data BPS 2015, lansia miskin 14 persen atau 11 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Sebanyak 42 persen lansia masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Selayaknya mereka bekerja lebih diarahkan untuk eksistensi diri dan partisipasi aktif mengisi waktu luang. Ini dapat terwujud jika kondisi ekonomi mereka memadai, baik dari jaminan hari tua maupun dana tabungan yang dipersiapkan sejak usia kerja. Lansia sebagai prioritas Pemerintah selayaknya menempatkan isu lansia sebagai salah satu prioritas pembangunan karena menguntungkan pemerintah di masa depan. Penanganan lansia bukan untuk lansia semata, melainkan juga untuk semua kelompok umur. Jika tidak, saat terjadi lonjakan jumlah penduduk lansia nanti, pemerintah akan kesulitan mengatasi. Bagaimana supaya lansia menjadi anugerah? Penanganan permasalahan kelanjutusiaan harus menjadi bagian dari upaya mengatasi masalah kependudukan secara keseluruhan. Berbagai program dilakukan tak hanya berbasis bantuan, tetapi juga diarahkan untuk pemberdayaan dan upaya preventif dan promotif persiapan masa tua. Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah, selayaknya program dilakukan terpadu antarkementrian/lembaga bahkan keluarga dan masyarakat sehingga komprehensif. Sebagai acuan strategi dan indikator capaian penanganan lansia, Bappenas dan kementerian terkait menyusun Stranas Kelanjutusiaan. Lansia sebagai warga negara berhak memperoleh kehidupan layak dan bermartabat. Banyak lansia, kala memasuki usia pensiun, bukannya surut kegiatannya, tetapi malah seperti memasuki awal karier kedua. Suatu hal yang bagus jika setiap lansia yang punya kapasitas tinggi sesuai bidangnya dapat menularkannya kepada generasi muda secara arif dan tepat. Suatu hubungan antargenerasi yang harmonis dan saling menguntungkan satu sama lain dengan menghilangkan rasa saling bersaing dan tersaingi. Hal positif ini perlu dikembangkan sebagai suatu anugerah lansia, apalagi ke depan diperkirakan lansia semakin berpendidikan, sehat, serta didukung kemajuan teknologi. Tentunya hal ini perlu didukung payung hukum yang memosisikan lansia sebagai subyek pembangunan, punya hak sama untuk hidup bermartabat, dan sejahtera. Pemerintah diprakarsai Kementerian Sosial kini berupaya merevisi UU No 13 tentang Kesejahteraan Lansia. LILIS HERI MIS CICIH, DOSEN/PENELITI LD-FEB UI

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap