Muhamad Chatib Basri: Generasi Muda Masih Ada yang Menganggur

Muhamad Chatib Basri: Generasi Muda Masih Ada yang Menganggur

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Anak muda itu mengenakan kaos bertuliskan supreme berwarna jingga. Parasnya halus dan usianya sekitar 25 tahun. Saat itu, ada segelas kopi yang belum habis di mejanya. Tanpa mempedulikan orang lain, ia sibuk memainkan smartphone. Namun, menilik caranya berdandan, ia mengkin berasal dari keluarga dengan latar sosial ekonomi yang baik.

Terlintas dalam pikiran saya ke data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penganggur muda yang berusia 15 – 24 tahun menunjukkan bahwa sejalan dengan menurunnya angka pengangguran terbuka, persentase pengangguran muda juga menurun dari sekitar 22% (2014) menjadi 20% (2018). Tak hanya itu, persentase penganggur dan setengah penganggur muda menurun dari sekitar 33% ke 29%. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi 5% – 5,2%, kita tetap mampu menurunkan pengangguran.

“Data BPS juga menunjukkan bahwa mayoritas dari penganggur muda ini berpendidikan SMA ke atas. Lebih spesifik lagi SMA umum, SMK, Diploma, dan Sarjana. Ada hal yang perlu dilihat di sini, yaitu persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke atas meningkat dari 60% (2014) menjadi 74% (2018),” kata Muhamad Chatib Basri dalam rilis tulisannya di koran Bisnis Indonesia, (18/2/2019).

Ini disebabkan oleh peningkatan penganggur muda dengan pendidikan SMK dari sekitar 23% (2014) menjadi 33% (2018) dan juga diploma dan sarjana dari 4,4% (2014) menjadi 10% (2018). Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tak sepenuhnya menyerap kelompok usia muda (15-24 tahun) yang berpendidikan SMA ke atas. Secara intuitif, penganggur muda yang kurang berpendidikan mungkin akan relatif lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan.

Alasannya, ialah ekspektasi mereka tak terlalu tinggi. Mereka mungkin lebih bisa menerima ‘pekerjaan apa saja’ atau upah yang lebih rendah asal bisa hidup. Namun, mereka yang memiliki pendidikan apalagi SMA ke atas cenderung lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu, alasannya mereka mencari ‘pekerjaan yang lebih baik’ dalam arti penghasilan dan status. Mereka juga memiliki ekspektasi yang tinggi karena tingkat pendidikannya yang lebih tinggi.

“Dalam bahasa ekonomi, reservation wage (tingkat gaji minimal yang bersedia diterima oleh pekerja) lebih tinggi untuk mereka yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan yang tak berpendidikan,” tuturnya.

Di sinilah soal pertumbuhan ekonomi dan kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja formal menjadi sangat penting. Beberapa waktu lalu, BPS mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,17%. Jika kita melihat lebih dalam, pertumbuhan ekonomi pada 2018 didorong oleh konsumsi rumah tangga.

“Ini pertanda bahwa daya beli mulai pulih. Sejak 2015, saya sebenarnya menyarankan agar pemerintah meningkatkan bantuan sosial dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan tunai, program padat karya tunai untuk menjaga daya beli. Pada 2018, saya kira dampak dari peningkatan PKH telah menunjukkan dampak positif terhadap daya beli masyarakat,” imbaunya

Hal ini terlihat mulai dari kuartal II/2018. Di samping itu, kita juga melihat pertumbuhan yang meningkat untuk konsumsi restoran, konsumsi transportasi, dan komunikasi, terutama pada kuartal IV/2018.

“Ada resiko bahwa pertumbuhan ekonomi akan bertahan di sekitar 5,1% – 5,2% pada 2019. Implikasinya, penyedia lapangan kerja formal, terutama bagi mereka yang berpendidikan sulit untuk meningkatkan secara signifikan,” tambahnya.

Bagaimana cara mengatasi penganggur muda berpendidikan? Kita harus mendorong secara formal. Misalnya, mendorong industri manufaktur dan sektor jasa formal. Data BPS menunjukkan bahwa peningkatan penganggur muda terjadi di kelompok tamatan SMK.

“Ini mungkin disebabkan karena apa yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan. Jika itu persoalannya berikan insentif agar perusahaan dapat melakukan sendiri pelatihannya. Berikan potongan pajak berganda bila perusahaan melakukan pelatihan untuk perbaikan kualitas SDM mereka melalui pendidikan vokasi,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Koran Bisnis Indonesia. Edisi: Senin, 18 Februari 2019. Halaman 1 Bersambung ke-3.