Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D, Masih Ada(kah) Harapan untuk Indonesia. Bisnis Indonesia, 25 Juni 2018

Masih Ada(kah) Harapan untuk Indonesia

Oleh Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Bisnis.com, JAKARTA – Dalam beberapa pekan ke depan rencananya saya bertolak ke Beijing untuk menghadiri pertemuan Network of East Asian Think-Tanks (NEAT) Working Group, berbicara mengenai potensi pembentukan Komunitas Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community).

Jujur saja, pertemuan ini membuat saya khawatir dan gelisah, apa pasal? Tentunya bukan karena jadwal pertemuan ini mengambil jatah waktu saya untuk menjadi komentator tetap piala dunia di salah satu channel streaming berbayar, tetapi lebih karena faktor kesiapan Indonesia menghadapi tantangan di liga besar ekonomi Asia Timur. Mampukah Indonesia?

Menengok tetangga, sejatinya Indonesia belum bisa dikatakan baik. Betapa tidak, jika kita intip data statistik Asean, ekonominya akan tumbuh setidaknya 5,3% tahun ini sementara Indonesia berdasarkan proyeksi yang saya buat, hanya akan tumbuh maksimal 5,12%.

Angka itupun karena ada sumbangan dari pilkada serentak yang bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,13%. Dengan begitu, berarti Indonesia tumbuh di bawah rata-rata regional. Ada apa sebenarnya?

Salah satu variabel yang menjadi pelumas ekonomi di negeri jiran adalah dari sisi kontribusi perdagangan internasional. Melihat Thailand, Malaysia, Vietnam bahkan Filipina, data ekspor mereka menunjukkan tanda tanda yang solid sementara Indonesia tampak sekali kesulitan mengerek kinerja ekspornya.

Data pada semester I/2018 memang kelihatannya menunjukkan perkembangan yang cukup menjanjikan, tetapi jika melihat perhitungan coefficient of variation, pertumbuhan ekspor kita cenderung tidak stabil.

Sebagai tambahan, meski secara umum ekspor tumbuh, tetapi pertumbuhan impor jauh lebih tinggi.

Memang benar sebagian besar dari impor kita digunakan sebagai input produksi, tetapi masalahnya kinerja ekspor kita tidak kunjung membaik sementara pertumbuhan input produksi memberikan elastisitas yang semakin kecil terhadap pertumbuhan ekspor. Hal ini menjadi masalah besar dan pada gilirannya turut menyumbang tekanan pada nilai tukar.

Perlu diketahui bahwa selain tekanan regional dan global, faktor domestik juga punya peranan yang tak kalah penting dalam pelemahan rupiah. Pelemahan ini hanya simtom dari sebuah penyakit yang telah mengakar.

Naik turunnya kinerja ekspor kita dan terus diwarnainya tahun-tahun terkini dengan defisit neraca perdagangan turut menekan prospek nilai tukar di jangka panjang.

Mengapa terjadi pelemahan ekspor? Jawabannya adalah minimnya kinerja industri sebagai akibat fenomena deindustrialisasi secara persisten.

Jika kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB awal tahun 2000-an sempat menyentuh angka 29%, alih alih bangkit dan menjadi negara industri, kini angka tersebut malah lekat tanah, tidak jauh dari 20%. Meminjam istilah dani rodrik, kita mengalami fenomena deindustrialisasi prematur.

Keadaan menjadi semakin buruk tatkala kita melihat tren Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang terus meningkat hingga lebih dari 6% jauh di atas level sebelum krisis (periode 1993-1996) yang sebesar 3,8% dan salah satu yang terburuk di Asean.

Lantas, peluang apakah yang bisa ditangkap Indonesia dengan pelemahan nilai tukar? Dapatkah kemudian kita menggenjot ekspor? Jawabannya sulit, karena berdasarkan penelitian yang kami buat pada 2017, Indonesia sudah kehilangan momentum dalam rantai jaring produksi global, tertinggal dari Thailand dan Malaysia bahkan Filipina dan Vietnam.

Bahkan Indonesia justru akan jauh lebih menderita Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat 80% dari impor adalah berupa bahan baku dan bahan penolong yang dibutuhkan oleh industri.

Dengan demikian, ke depan dikhawatirkan tren deindustrialisasi akan semakin persisten.. Hal ini juga sudah saya bahas lengkap bersama kolega saya dalam salah satu bab di buku “Real Exchange Rate, Trade Balance and Deindustrialization in Indonesia”.

Kinerja ekspor yang turun tentu menjadi kekhawatiran tersendiri. Melihat proyeksi dari LPEM FEB UI, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 9,8 % hingga 2019 untuk bisa menopang pertumbuhan ekonomi dan meminimalisasi risiko nilai tukar.

Padahal, realitanya, ekspor hanya tumbuh rata-rata 6% yang mana masih jauh panggang dari api.

Untuk bisa melaju, Indonesia tidak bisa tidak, harus membenahi kinerja Industrinya yang hingga sekarang masih dibayangi oleh tren deindustrialisasi. Tren ini lah yang pada gilirannya menyebabkan Indonesia kehilangan momentum jaringan rantai produksi global dan semakin tertinggal dengan sejawat dekatnya.

Menurut penelitian dari Ilmi dan Hastiadi pada 2017, Indonesia bahkan sudah tertinggal dari Filipina dan Vietnam dalam ranking partisipasi jaringan produksi global industri. Ketinggalan dari Thailand dan Malaysia saja sudah membuat dada ini sesak, mulai 2015 Indonesia justru harus tercecer dari persaingan disalip Filipina dan Vietnam.

Dalam mencari solusi atas permasalahan deindustrialisasi, pemerintah lantas berfokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi menurut saya strategi ini tergolong setengah tepat. Jika melihat dari arah kebijakan, pembangunan infrastruktur secara masif cenderung sejalan dengan kebutuhan untuk memperkuat industri.

Hal ini sesuai dengan argumentasi penulis dalam buku Towards A Common Future Understanding Growth, Sustainability in the Asia-Pacific Region bahwa Industri yang kuat perlu ditopang oleh fasilitas dan infrastruktur yang baik demi meningkatkan produktivitas.

Namun, sebagaimana argumentasi Vernon et al (2017), pembangunan infrastruktur perlu disesuaikan dengan karakter daerah yang tentu kebutuhannya sangat bervariasi.

Selain itu, pembangunan infrastruktur yang menopang produktivitas dan logistik perlu diprioritaskan kepada daerah-daerah yang terlihat jelas aktivitas ekonominya, tidak seperti sekarang yang terkesan sekadar mengejar target populis.

Kue ekonomi harus dibuat lebih besar dengan memprioritaskan pertumbuhan, baru kemudian kita berbicara pemerataan.

Indonesia jelas perlu mempercepat tiga strategi perdagangan internasional yang saat ini perkembangannya cukup tertahan, yang pertama adalah mencari dan mengonkretkan negara-negara nontradisional sebagai mitra dagang kita.

Kedua, adalah meningkatkan utilisasi perjanjian dagang (IJEP, ACFTA) yang saat ini tingkat utilisasinya masih rendah (30%-an), Ketiga adalah berperan aktif dalam forum regional untuk mempercepat integrasi regional dalam bentuk RCEP dan juga mempertegas cetak biru integrasi ekonomi Asia Timur.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa bergabung dengan liga besar East Asian Economic Community menyiratkan kompetisi yang semakin sengit tetapi hal ini bukan berarti kita harus menyingkir dari persaingan.

Seorang Egy Maulana Vikri saja harus hengkang ke Polandia menjajal nasib di klub liga utama Lechia Gdansk demi peruntungan yang lebih baik. Bayangkan saja jika bertahan di Liga Indonesia yang tidak beradab,talenta mudanya akan semakin tergerus dan hilang sebelum berkembang.

Jadi, Indonesia harus siap untuk bertarung di liga besar demi meningkatkan kualitas dengan kompetisi yang jauh lebih profesional. Memori saya kemudian terbawa ke Chiang May pada 2012 ketika lamat-lamat saya dengar seorang pejabat senior Thailand memberi nasihat, “Asean alone is Going Knowhere”.

 

Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin 25 Juni 2018.