Desmon Silitonga (Alumnus Pascasarjana FEB UI), Pertumbuhan Ekonomi dan Peran Pemerintah

Desmon Silitonga, Analis PT Capital Asset Management & Alumnus Pascasarjana FE UI

Oleh: / GOR | Kamis, 27 April 2017 | 06:24 WIB

Dalam rapat Kabinet Paripurna (4/4), Presiden Jokowi memberikan arahan dan berharap kepada seluruh pembantunya agar dapat memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana pun, jika pertumbuhan ekonomi hanya berada di level 5%-an seperti saat ini, maka upaya untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran akan makin sulit. Padahal, pemerintahan Jokowi-Kalla berjanji untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.

Bisakah harapan Jokowi ini direalisasikan? Untuk menjawabnya, tentu kita harus melihat dengan realistis kondisi ekonomi dunia dan ekonomi domestik.

Sejak krisis keuangan di Amerika Serikat (2008) dan berlanjut dengan krisis utang di kawasan Eropa (2010), serta diikuti dengan bermunculannya ketidakpastian, yang salah satu diinduksi dari kebijakan moneter di negara maju, makin membuat arah ekonomi dunia sulit diramalkan.

Memang, tahun ini dan ke depan, prospek ekonomi dunia akan membaik yang dimotori oleh perekonomian Amerika Serikat. Meski begitu, perbaikan ini juga tetap digelayuti oleh berbagai risiko yang bisa menekan pemulihan itu. Salah satu risiko itu berasal dari perekonomian Tiongkok.

Meskipun, ekonomi Tiongkok masih mampu tumbuh sebesar 6,9% (yoy) di kuartal I-2016, tetapi capaian itu belum bisa disimpulkan akan sustain. Perekonomian Tiongkok masih berpotensi kembali tertekan, khususnya jika pemerintahan Donald Trump merealisasikan kebijakan proteksionisme dan Tiongkok gagal mengelola utangnya yang saat ini terus menggunung.

Kondisi ekonomi Tiongkok yang belum sustain inilah yang memberi imbas pada tekanan ekonomi di Asia. Hanya segelintir negara di Asia yang mampu tumbuh secara superior, seperti India dan Vietnam. Sisanya, cenderung melambat, termasuk Indonesia.

Tekanan Harga Komoditas

Situasi ekonomi yang melambat inilah membuat harga minyak dan komoditas belum mampu berlari kencang. Perlu dicatat bahwa sejak tahun 2010 era booming komoditas telah berakhir dan diperkirakan tidak akan terulang lagi. Dampaknya bagi Indonesia tentu sangat terasa, mengingat ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap komoditas sangat tinggi.

Komoditas menjadi salah satu penyumbang terhadap penerimaan APBN. Itulah sebabnya, tekanan harga komoditas ini telah memukul kondisi fiskal Indonesia. Selain itu, kontraksi harga komoditas juga telah memukul kinerja sektor pertambangan dan turunannya.

Padahal, sektor ini menjadi salah satu sektor yang cukup signifikan dalam menyerap tenaga kerja. Pendek kata, tekanan harga komoditas cukup efektif memukul kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itulah sebabnya, jika ketergantungan terhadap komoditas ini tidak diakhiri dan dengan segera melakukan diversifikasi, maka cukup sulit untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari yang telah dicapai saat ini.

Sebenarnya, di tengah tekanan harga komoditas ini, pertumbuhan ekonomi domestik masih bisa dimaksimalkan, yaitu dengan menjaga vitalitas kinerja daya beli dan investasi. Sayangnya, kinerja daya beli dan investasi ternyata ikut tersendat. Sejak tahun 2014, konsumsi relative tumbuh flat di level 5%.

Sementara itu, kinerja investasi menyusut dan hanya tumbuh di level 4-5%. Padahal, untuk dapat mencapai pertumbuhan di atas 6%, setidaknya investasi harus bisa tumbuh di level 8-10%.

Peran Pemerintah

Sebenarnya, lesunya konsumsi dan investasi ini bisa distimulasi melalui belanja pemerintah (government spending). Meskipun kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB tidak besar, tetapi jika belanja itu dapat dimaksimalkan, maka akan memberikan dampak positif dalam menggerakkan daya beli dan investasi.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa belanja pemerintah memiliki peran yang cukup vital, khususnya di saat siklus ekonomi bergerak ke bawah. Sayangnya, kondisi APBN yang tak memungkinan, membuat pemerintah tidak dapat memaksimalkan peran belanja tersebut. Bahkan, pada tahun 2016, pemerintah harus menggunting belanja untuk menghindarkan APBN dari pelanggaran UU.

Kebijakan pemangkasan belanja inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2016 tidak dapat dimaksimalkan, meski menunjukkan tren perbaikan dari tahun sebelumnya. Untuk itulah, agar pertumbuhan ekonomi tahun ini dan ke depan dapat didorong, maka pemangkasan belanja harus dapat diminimalkan.

Pemerintah harus dapat memaksimalkan penerimaan pajak. Saat ini, pemerintah cukup terbantu untuk menggali potensi penerimaan pajak, karena didukung oleh data dari amnesti pajak dan rencana pemerintah meluncurkan perpu kerahasian perbankan untuk melihat nasabah perbankan yang selama ini mengemplang pajak.

Agar APBN memberikan daya kejut pada perekonomian, maka pemerintah terus meningkatkan kualitas belanja APBN, yaitu dengan menitikberatkan alokasi belanja pada sektor-sektor prioritas untuk menggerakkan perekonomian, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, dana desa, serta pemberdayaan masyarakat.

Sementara itu, belanja yang tidak menunjang prioritas akan diperketat dan dipangkas, seperti subsidi, belanja barang, dan alokasi transfer daerah. Bahkan, menurut Sri Mulyani bahwa di dalam APBN 2017, ada potensi penghematan belanja barang sebesar Rp 34 triliun. Dengan kata lain, selama ini banyak alokasi anggaran yang terbuang percuma, padahal seharusnya bisa dialokasikan untuk hal-hal yang memberi daya kejut pada pertumbuhan.

Sementara untuk alokasi transfer daerah, pemerintah akan menyesuaikan dengan kebutuhan. Pemerintah daerah harus menerima kenyataan bahwa dana transfer daerah bisa berubah setiap tahunnya. Jika tidak bisa dikelola dengan baik, maka akan dilakukan transfer non tunai melalui penyertaan di Surat Berharga Negara (SBN).

Harus diakui bahwa sejak lima tahun terakhir, alokasi dana transfer daerah terus meningkat. Namun, alokasi yang besar ini tidak diikuti dengan akselerasi pertumbuhan di daerah.

Sebaliknya, pemerintah daerah lebih senang memarkir dana tersebut di bank daerah. Kondisi ini tentu tidak akan bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi di daerah dan memutus rantai kemiskinan dan pengangguran.

Selain melalui anggaran, pemerintah juga bisa memainkan peran untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan non anggaran, yaitu melalui regulasi yang dimilikinya.

Paket-paket ekonomi yang telah diluncurkan pemerintah beserta kebijakan deregulasi dan debirokratisasi merupakan kebijakan yang sangat vital untuk menjaga kepercayaan, khususnya pelaku usaha yang menjadi agen utama dalam perekonomian.

Untuk itulah, pemerintah diharapkan dapat secara konsisten dan sustain untuk menjalankan seluruh kebijakan tersebut agar dapat menciptakan kepastian terhadap dunia usaha. Bagaimana pun, ketidakpastian menjadi musuh utama bagi dunia usaha.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, khususnya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Namun, perekonomiannya sulit untuk bergerak naik, dan berpotensi mengalami middle income trap, karena disebabkan oleh diri sendiri.

Seperti kata Jokowi, kita sulit bergerak maju, karena terlalu banyak aturan yang rumit dan menghambat. Masalah ada di diri kita dan bukan disebabkan oleh faktor luar.

Desmon Silitonga, Alumnus Pascasarjana FE UI