Ari Kuncoro Tanggapi Inisiatif One Belt One Road

Ari Kuncoro Tanggapi Inisiatif One Belt One Road

Delli Asterina ~ Humas FEB UI

One belt one road merupakan inisiatif Tiongkok yang digagas oleh Presiden XI Jinping pada September 2013 lalu dan program ini dinilai bisa memberikan dampak langsung pada masyarakat diantaranya adalah lewat pembangunan infrastruktur dan dampak serta biaya infrastruktur yang memang dibutuhkan.

Berdasarkan sumber yang didapat dari Berita satu Tv, Program one belt and one road initiative (BRI) berdampak sejumlah 4,4 miliar orang yang artinya memang bonus demografi Indonesia harus menjadi satu catatan yang harus dipikirkan. Kemudian total GDP negara yang terlibat ada sekitar 23 triliun dollar AS dan Nilai perdagangan Tiongkok dengan negara BRI senilai 3 triliun AS dolar kalau dihitung dari tahun 2014 hingga 2016.

Apabila biaya infrastruktur memang dibutuhkan dunia yaitu sekitar 26 triliun AS dolar dan Tiongkok berkomitmen angkanya berada di 1 triliun AS dolar

Kemudian apabila diketahui dari pemberi pinjaman belt and road initiative yaitu Silk Road Fund, China Development Bank, Impor Bank of China, Asian Infrastructure Investment Bank (AIB) dan dan juga New Development Bank yang merupakan beberapa para pemberi pinjaman Belt and Road.

Wakil Presiden Jusuf Kalla berkomitmen untuk menjalankan proyek belt and road Initiative di Indonesia menurutnya belt and road Initiative diperlukan untuk mencapai target pembangunan yang berkelanjutan

Saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri KTT belt and road kedua di Beijing pada Pekan lalu. Jusuf Kalla menyebut komitmen menjalankan proyek belt and road Initiative di Indonesia sudah melalui pertimbangan ekonomi sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan sinergi dan kerjasama antar negara untuk kemakmuran bersama. Untuk itu masalah kepemilikan dan inklusivitas menjadi penting dalam kerjasama ini agar manfaat belt and road Initiative dapat dinikmati oleh semua negara

Sementara itu Menteri koordinator kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memastikan Indonesia tidak akan terjebak dalam jeratan hutang dalam program belt and road.

Menteri Luhut juga mengatakan walaupun nantinya ada perhitungan dengan menggunakan pendanaan program belt and road tetapi tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek tersebut hanya dipakai dalam pelaksanaan proyek menggunakan skema bisnis to bisnis pemerintahan yang terlibat dalam pelaksanaan studi kelayakan aspek lingkungan hidup nilai tambah dan pemanfaatan tenaga kerja lokal.

Dekan sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia turut menanggapi terkait one belt one road.

“Saya rasa kita harus selektif. Ini adalah suatu blessing dari perang dagang antara Tiongkok dan AS, yaitu high tech supply chain-nya beberapa mencari realokasi baru dan yang menjadi bintangnya ialah Vietnam dan Thailand karena lokasi. Sebenarnya bagi Indonesia lokasi selat Malaka dan Laut Cina Selatan itu masih dilalui jalur perdagangan internasional,” kata Ari.

Business to Business merupakan skema yang tepat. Karena kita sudah punya modal hanya saja sektor bisnis harus ditingkatkan lebih jauh ke perdagangan internasional dengan meningkatkan ekspor yang dibutuhkan, tetapi bukan hanya sekedar ekspor barang melainkan di supply chain-nya,” ujarnya.

“Salah satu yang diminati adalah industrial park, jadi import dan eksport untuk membuat konektifitas dan daerah yang berkembang,” ungkap Ari.

Diketahui dari berberapa sumber yang menyebutkan posisi belt & road Initiative dituai kritik oleh beberapa kalangan diantaranya adalah biaya konstruksi terlalu mahal kemudian apa yang sering ditujukan kepada pemerintah saat ini adalah soal utang, utang luar negeri yang kemungkinan bisa berpotensi jebakan utang. Menurut Global competitive index yang digagas oleh Standard Chartered bahwa China atau Tiongkok ini punya PDB yang akan tumbuh nanti di tahun 2020 menuju 2030, kemudian ada kritikan korupsi dan kurangnya transparan dan berkelanjutan dan langkah untuk meningkatkan pengaruh Global Tiongkok Ini masih wacana atau kritik kritik yang memang sering di lontarkan terkait dengan one belt one road Initiative yang seringkali dihubungkan dengan politik di dalam negeri atau domestik.

Ada lima syarat pengusaha Tiongkok untuk berinvestasi di Indonesia yang pertama adalah investor Tiongkok harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia, kemudian perusahaan yang berinvestasi harus memiliki nilai tambah sehingga tidak diperbolehkan hanya sekedar menggali sumber daya alam saja lalu mengekspor ke negara lain selanjutnya perusahaan asing wajib melakukan transfer teknologi kepada pekerja lokal, dari sisi pemerintah dan kepentingan ekonomi pemerintah saat ini terkait dengan transfer teknologi agar kita juga bisa bersaing dari sisi industri dari hulu dan hilir nya kemudian pemerintah mengedepankan konsep B2B atau bisnis to bisnis.

“Terkait dengan kritik tersebut seharusnya pihak Tiongkok harus disadarkan bahwa untuk suistain ini menggunakan pinjamannya Yuan, maka Indonesia harus diijinkan memasuki pasar Tiongkok sehingga mendapatkan pendapatan Yuan ini untuk kebaikan kedua Mitra. Sehingga harus disadarkan dari awal karena ini proyek jangka panjang dan harus sustain,” tutur Ari.

Terkait dengan SDM, Ari juga mengungkapkan bahwa
SDM saat ini lebih banyak di posisi operator sehingga Manajer logistik di dominasi oleh ekapatriat. Walaupun ada beberapa SDM yang ditempatkan sebagai Manajer produksi yang jumlahnya terbatas seperti di perusahaan afiliasi dan Jepang.

“Untuk meratakan perekonomian di daerah dengan adanya kerjasama bisa dari CSR perusahaan, tidak hanya sekedar memberikan bantuan pendidikan, tetapi juga dapat memberikan Smart City dan perlu ada pengembangan desa wisata,”

“Diplomasi dan meningkatkan produktifitas dapat menjadi solusi dan manfaat yang perlu kita gali terhadap one belt one road initiative,” tutup Ari.