Ari Kuncoro: Revolusi Industri 4.0 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia

Ari Kuncoro: Revolusi Industri 4.0 dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Perkembangan teknologi informasi telah melanda masyarakat dalam wujud penggunaan gawai dan platform, seperti smartphone, teknologi informasi berbasis cloud, dan data analytic. Seperti halnya dalam setiap revolusi industri sebelumnya, selalu ada peluang baru dan ancaman. Pada tingkat perseorangan kemampuan yang dibutuhkan untuk menguasai teknologi informasi ialah kemampuan logika dan bahasa.

Ide dapat menghasilkan pemikiran baru dan melalui kemampuan beragumentasi dan berinteraksi dengan orang lain/masyarakat dapat diwujudkan menjadi aplikasi fisik (gawai/gadget) ataupun nonfisik (sistem). Sayang sekali skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang diujikan pada murid-murid SD sedunia masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Hal ini disebabkan karena matematika dan membaca masih menjadi titik lemah.

“Indonesia termasuk pengguna media sosial terbesar di dunia dengan 143 juta pemakai, tetapi penggunaan internet untuk daya saing bisnis masih tertinggal. Menurut Indeks Daya Saing Global menempatkan Indonesia diperingkat ke-32 untuk sofistikasi bisnis dan peringkat ke-80 untuk kesiapan teknologi,” ucap Ari Kuncoro dalam rilis tulisannya di Harian Kompas, (12/1/2019).

Dalam dunia bisnis, terutama relasi internasional, teknologi informasi berperan sangat penting. Kegagalan melakukan tindak lanjut, koordinasi, dan menepati jadwal penyerahan barang (delivery) dapat mengakibatkan suatu perusahaan terpelanting dari jaringan distribusi/produksi internasional. Saat ini keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi internasional mengalami stagnasi.

Di sektor manufaktur Indonesia, basis ekspor sekarang lebih terkonsentrasi di sektor makanan (ekspor minyak kelapa sawit) dan otomatif yang didominasi oleh prinsipal dari Jepang dan Korea Selatan. “Basis ekspor yang sempit ini menyebabkan Indonesia rentan terhadap siklus bisnis dunia dan disrupsi terhadap perdagangan dunia, seperti yang terjadi saat ini sebagai akibat dari perang dagang AS-Cina,” pungkasnya.

Defisitnya neraca perdagangan pada beberapa bulan tertentu di tahun 2018 turut menjelaskan kelemahan SDM Indonesia dalam menghadapi perubahan di jaringan produksi internasional yang makin tersebar di berbagai lokasi/negara. Secara spesifik kemampuan manajemen logistik dan kemampuan mengelola manusia dengan latar belakang yang berbeda ialah dasar-dasar untuk memperbaiki peranan Indonesia dalam jaringan produksi internasional.

Bagi Indonesia, tidak ada cara lain kecuali memperbaiki kelemahan di pendidikan dasar ini dengan kurikulum yang mengembangkan logika, bahasa, dan kreativitas. Dengan perbaikan talenta dasar seperti itu pun tidak ada jaminan bahwa semua pekerjaan akan dapat dipertahankan. “Otomatisasi dan digitalisasi akan menghilangkan beberapa jenis pekerjaaan, seperti kasir di loket bank, pemasar jarak jauh, atau paling tidak seperti auditor berubah menjadi analis,” tambahnya.

Sementara itu, pertumbuhan dunia internasional dari sisi produksi perekonomian, subsektor hotel dan restoran di angka 5,9% YOY, transportasi dan pergudangan 5,6%, perdagangan besar dan eceran 5,3%. Keunggulan di bidang SDM, bisnis daring (online) internasional punya peluang untuk memiliki keunggulan tidak sepadan terhadap bisnis konvensional dan daring dalam negeri.

Industri ritel dalam negeri dengan beban regulasi yang mereka hadapi mungkin harus menghadapi rantai pasokan transnasional dengan beban regulasi, seperti perpajakan, lingkungan, dan persaingan usaha yang jauh lebih ringan.

Perkembangan teknologi informasi menyebabkan sifat interaksi antara individu dan pemangku kepentingan tidak lagi sekedar satu/dua arah, tetapi lebih merupakan suatu strategic game dengan banyak pelaku.

Implikasi bagi pengambil keputusan akan memengaruhi perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang dalam membuat, menilai, dan memahami prospek (outlook) ke depan dalam bidang sosio-ekonomi, perkembangan teknologi, pergeseran aliansi, geopolitik dan perubahan tingkah laku masyarakat.

Metode pengambilan keputusan terbaru ala Industri 4.0 disebut sebagai headline matching. “Pendekatan ini mencoba mencari pola tingkah laku manusia dari mulai kepala negara, pemilik modal, sampai konsumen dari berita-berita utama di media dunia baik cetak maupun daring,” imbaunya.

Readiness for Future Production Report (World Economic Forum 2018) menyebutkan bahwa dalam kesiapan menghadapi Industri 4.0 dari segi struktur produksi, Thailand dianggap sudah siap. Vietnam dan Indonesia masih agak tertinggal karena dikategorikan sebagai nascent countries pada driver and structure of production, yang artinya sudah mulai terlihat eksistensinya, mempunyai potensi, tetapi perlu bekerja lebih keras.

Walaupun demikian, Vietnam mempunyai keuntungan secara geografis karena lebih dekat ke jalur perdagangan/distribusi Internasional. “Peluang bagi Indonesia adalah dengan memilih satu atau dua lokasi di jalur Selat Malaka sebagai pusat logistik, misalnya Kuala Namu, Batam, atau Kepulauan Riau,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Sabtu, 12 Januari 2019. Kolom Opini. Halaman 6.