Ari Kuncoro: Disrupsi Teknologi Dorong Indonesia Ambil Kebijakan Publik yang Kredibel

Ari Kuncoro: Disrupsi Teknologi Dorong Indonesia Ambil Kebijakan Publik yang Kredibel

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Disrupsi teknologi atau Revolusi Industri 4.0 dalam ilmu ekonomi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komputasi, robot pintar dan rekayasa genetika dapat diterjemahkan sebagai perubahan atau kemajuan teknologi yang dapat menimbulkan perubahan tingkah laku secara luas dalam aktivitas ekonomi, organisasi industri dan proses pembuatan kebijakan publik.

Melihat kelemahan struktur ekonomi Indonesia di era sekarang ini pada sektor jasa dan industri penghasil barang masukan (input) dan setengah jadi untuk industri hilir dapat dianalogikan dengan masalah pasar yang hilang. Pasar yang hilang ini diisi oleh arus modal masuk jangka pendek yang naik turun dan keluar masuknya mempengaruhi nilai tukar Rupiah.

“Konsep ekspektasi rasional membayangkan bahwa pelaku ekonomi sebagai suatu komputer berjalan yang dapat menggunakan semua informasi yang ada untuk melihat ke depan. Tak seperti ekspektasi adaptif yang hanya melihat informasi ke belakang dari variabel yang sedang dicari ekspektasi yang melihat ke depan bertindak seperti formula matematika untuk menggambarkan perilaku masyarakat di masa depan,” ucap Ari Kuncoro dalam rilis tulisannya di Harian Kompas, (11/12/2018).

Berlainan dengan model dengan persamaan yang hilang di atas, yang terjadi sekarang adalah terlalu banyak informasi sehingga harus disaring mana yang benar-benar relevan. Informasi publik yang diterima dianalisis secara pribadi dengan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya menyerap dan mengolah informasi.

Selain itu, kenaikan tingkat bunga Bank Sentral AS (The Fed) berikutnya memicu kenaikan tingkat bunga kredit pemilikan rumah (mortgage) sehingga mencapai yang tertinggi di dalam 7 tahun terakhir di AS. Sebagai tambahan, walaupun data-data makro seperti tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan inflasi menunjukan perekonomian dalam keadaan baik tetap saja mereka merasa tidak nyaman. Selain tingkat bunga mortgage yang dianggap terlalu tinggi, sebagian investor merasa tidak nyaman dengan bagaimana pemerintahan dijalankan.

“Tampaknya para investor melakukan penyeimbangan (balancing) portfolio mereka dari yang tadinya berbondong ke AS akibat prospek eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok mulai berbalik kembali ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia,” ujar dia.

Dengan berbagai faktor-faktor dalam negeri seperti kenaikan tingkat bunga acuan BI yang mencoba mendahului ekspektasi masyarakat (moving ahead of the curve), pertumbuhan dan inflasi yang terjaga membuat Rupiah ikut terkena imbas positif. Rupiah menguat dari sekitar Rp15.200 per dolar AS di pertengahan Oktober 2018 menjadi sekitar Rp 14.300 di akhir November 2018.

Rangkaian kenaikan tingkat bunga yang direncanakan oleh Bank Sentral AS dan jatuhnya indeks harga saham AS di bulan Oktober-November 2018 membuat beberapa institusi keuangan di AS memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat secara signifikan dari 3,5% di tahun 2018 menjadi 1,75% di tahun di tahun 2019 yang tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus dapat bergerak mendahului ekspektasi (moving ahead of the curve atau expectation realignment) dengan ekspektasi dari berbagai kelompok kepentingan sudah selaras (time consistency). “Pemerintah maupun sektor swasta memerlukan unit-unit pemantau yang mempunyai kemampuan data analytic menggunakan data real time yang tersedia dalam bentuk big data,” tambahnya.

Tujuannya untuk dapat mendeteksi benih-benih ekspektasi yang berkembang di masyarakat, jika diperlukan melakukan tindakan awal memberi informasi untuk menuntun ekspektasi dan membedakan antara yang benar dengan kabar burung (hoax). Unit-unit seperti ini harus diisi oleh sumber daya manusia (SDM) yang memiliki daya nalar kuantitatif (matematika), verbal, inovatif, memecahkan masalah, melihat ke depan dan mampu bekerja sama dalam kelompok. SDM seperti inilah yang harus dihasilkan oleh sistem pendidikan nasional.

Pemerintah juga harus mengambil kebijakan seperti meningkatkan sektor pariwisata untuk menghasilkan pendapatan devisa dan mampu menyejahterakan perekonomian masyarakat sekitar. Selain itu, infrastruktur seperti jalan-jalan tol yang sudah diresmikan perlu dilengkapi dengan peta (cetak dan elektronik) dan petunjuk jalan menuju tujuan wisata, kuliner dan jalur dengan pemandangan indah untuk scenic driving.

Sementara itu, untuk meningkatkan surplus, Indonesia perlu mengubah struktur TKI menuju ke arah tenaga vokasi seperti perawat, juru las, juru masak, dan awak kapal. Dalam kasus lain di negara-negara tetangga seperti di Singapura, Malaysia dan Korea Selatan, peringkat internasional perguruan tinggi digunakan untuk mengharumkan nama negara dan bangsa, meningkatkan produktivitas nasional dan juga menghasilkan devisa melalui penerimaan mahasiswa internasional.

“Akreditasi dan jaminan kualitas pembelajaran (assurance of learning), riset dasar dan terapan, jalur karir yang transparan, kolaborasi dengan universitas-universitas bereputasi, penggunaan teknologi informasi dalam perencanaan dan pembelajaran, kurikulum yang relevan dengan dunia kerja dan otonomi merupakan kunci keberhasilan kebijakan peningkatan kualitas SDM yang kredibel bagi Indonesia,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 11 Desember 2018. Kolom Opini. Halaman 6