Toto Pranoto: Optimalisasi Pengelolaan BUMN Perlu Cermati 3 Tantangan Ini

Toto Pranoto: Optimalisasi Pengelolaan BUMN Perlu Cermati 3 Tantangan Ini

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Sinergi dan value creation BUMN merupakan tagline yang disampaikan pemerintah saat meluncurkan peta jalan baru (roadmap) BUMN 2016 – 2019. Ide dasar roadmap ini sebetulnya tidak berbeda jauh dengan blueprint reformasi BUMN yang diluncurkan pada 1999.

Ide dasarnya adalah perampingan jumlah BUMN (target menjadi 85 BUMN), pembentukan beberapa holding company dan munculnya imperium BUMN yang masuk dalam Fortune 500. Sudah hampir 2 dekade ide ini diluncurkan, tetapi progres baru terlihat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sinergi antar-BUMN sudah dicanangkan lama, tetapi pelaksanaan agak tersendat. Alternatif strategi melalui konsolidasi BUMN baru efektif di holding Semen Indonesia dan Pupuk Indonesia. Belum terlihat secara signifikan di holding pertanian atau kehutanan yang masih bersifat operating holding,” kata Toto Pranoto selaku Kepala Lembaga Manajemen FEB UI dalam rilis tulisannya di Koran Bisnis Indonesia, (13/11/2018).

Pada 2018 ini, pemerintah telah mendirikan dua holding baru BUMN, yaitu holding pertambangan dan migas. Penciptaan nilai (value creation) secara teknis sangat dimungkinkan dalam implementasi holding company ini melalui kapitalisasi konsep strategic fit, terutama dalam holding sektoral di mana optimalisasi resources dalam keseluruhan mata rantai operasi perusahaan (value chain) dapat dilakukan. Ditambah pula dengan kebijakan penghiliran yang memungkinkan peningkatan nilai tambah di domestik.

Pembentukan holding BUMN berdaya saing yang kokoh di pasar domestik dan mampu bersaing di pasar regional dan bahkan di pasar global adalah dambaan publik. “Studi Booz Allen (2014) menunjukkan responden dunia usaha Indonesia adalah yang paling tidak siap di ASEAN menghadapi integrasi pasar regional kalah dibandingkan dengan kesiapan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam,” ujarnya.

Isu utama adalah ketidaksiapan menghadapi pesaing perusahaan multinasional, tingginya biaya logistik, kesulitan adaptasi menjadi perusahaan skala regional, serta terbatasnya international talent. Praktik manajemen yang masih dirasa kurang efektif dan produktif juga menjadi hal yang disoroti untuk bisa bersaing dengan pemain-pemain kelas dunia.

Dalam diskusi dengan beberapa top eksekutif BUMN skala regional disampaikan bahwa kunci sukses mereka masuk pasar kawasan adalah memahami target pasar secara detail, due diligence secara akurat, adaptasi budaya serta penanganan post merger integration (PMI) secara komprehensif.

“Sebagai contoh, tingkat NIM perbankan di Singapura yang terendah di ASEAN di bawah 2%, sementara fee based income-nya sekitar 40%. Bandingkan dengan NIM perbankan BUMN yang batas atasnya bisa mencapai 8,5% dengan tingkat fee-based income rata-rata sekitar 20%,” tambahnya.

Melihat situasi holding company BUMN saat ini dan beberapa benchmarking yang dilakukan, optimalisasi pengelolaan holding BUMN ke depan perlu mencermati 3 hal, yaitu:

1. Secara kelembagaan perlu penguatan peran holding sehingga mereka bisa bergerak lebih fleksibel dan mengurangi hambatan birokrasi. Peran Kementerian BUMN dalam jangka panjang bisa difokuskan pada peran regulatory dan mengurangi peran eksekusi yang bisa dijalankan holding company.

2. Proses transformasi menjadi holding yang kuat bisa dilakukan apabila penanganan PMI dijalankan dengan baik. Survei membuktikan banyak kegagalan merger dan akuisisi di seluruh dunia karena penanganan PMI yang buruk. Dalam konteks ini, dibutuhkan strong leader, seperti Robby Djohan dan Ignasius Jonan yang mampu mendobrak culture dan memimpin transformasi secara cepat.

3. Fakta terjadinya pareto condition BUMN dan upaya untuk mengurangi span of control Kementerian BUMN, maka opsi pengurangan BUMN perlu segera direalisasikan. Bisa melalui percepatan pembentukan holding company yang lain ataupun melalui langkah divestasi/likuidasi. Rekomendasi bagi BUMN yang lemah, baik di sisi komersial maupun fungsi societal value adalah likuidasi. Artinya, dalam jangka panjang pemerintah akan memiliki BUMN yang relatif kuat dalam bentuk holding company dan tidak terbebani dengan BUMN ‘lemah’ sehingga fungsi pembinaan dan monitoring lebih mudah. (Des)

 

Sumber: Koran Bisnis Indonesia. Edisi: Selasa, 13 November 2018. Rubrik Hukum Bisnis. Hal 1 bersambung ke-11.