Abdillah Ahsan: Defisit BPJS Kesehatan Ditutup Pajak Rokok, Bisakah Berkelanjutan?

Abdillah Ahsan: Defisit BPJS Kesehatan Ditutup Pajak Rokok, Bisakah Berkelanjutan?

 

Delli Asterina- Humas FEB UI

Target pemerintah pada 1 Januari 2019 bahwa seluruh penduduk Indonesia menjadi peserta program jaminan kesehatan nasional (JKN) akan makin membebani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bila defisit pembiayaan tidak dicarikan solusi berkelanjutan.

Sampai 1 Maret 2018, sekitar 193,5 juta penduduk (73% dari total penduduk) telah menjadi peserta jaminan kesehatan nasional. Jumlah tersebut merupakan peningkatan sekitar 60 juta dibanding saat jaminan kesehatan nasional mulai diimplementasikan pada awal 2014. Iuran mayoritas peserta dibantu oleh pemerintah melalui ABPN (51,6% dari total peserta) dan APBD 9,6%. Lainnya, iuran dari pekerja upahan sekitar 23,6%, pekerja mandiri 12,4%, dan 2,8% peserta bukan pekerja.

Dengan makin meningkatnya jumlah peserta, secara otomatis jumlah klaim meningkat. Hal ini mengakibatkan semakin besar potensi defisitnya. Pada 2014, 92,3 juta peserta memanfaatkan layanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan. Memasuki tahun ketiga, jumlah pengguna layanan kesehatan naik lebih dari dua kali lipat. Indikasi ini dapat dilihat dari, misalnya, data kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskemas, klinik, dan dokter praktik) yang meningkat hampir 2 kali lipat dari 66,8 juta (2014) menjadi 120,9 juta peserta pada 2016

“Dengan kata lain, program JKN telah berhasil meningkatkan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan, tapi di sisi lain menyebabkan defisit pendanaan BPJS Kesehatan. Bagaimana pun keadaannya, keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional harus menjadi prioritas pemerintah, karena sistem ini merupakan terobosan revolusioner yang membuka akses kesehatan universal bagi seluruh penduduk Indonesia.”  ujar Abdillah Ahsan dalam rilis tulisannya di The Conversation ID.

Pada strategi berkelanjutan, Abdillan menuliskan agar dana pajak rokok untuk pendanaan JKN dan pemanfaatan di bidang kesehatan lainnya bertambah, pemerintah perlu terus meningkatkan tarif cukai rokok dengan signifikan yakni sekitar 70% dari harga retail. Peningkatan tarif cukai rokok yang tepat dan signifikan akan meningkatkan penerimaan negara. Peningkatan penerimaan negara dari cukai rokok haruslah dilandasi oleh peningkatan tarif dan harga rokok, dan bukan pada peningkatan jumlah produksi dan penjualan rokok.

Penggunaan dana pajak rokok untuk pendanaan program JKN jumlahnya masih jauh dari memadai. Oleh karena itu diperlukan inovasi kebijakan lain untuk meningkatkan sumber pendanaan bagi program JKN. Inovasi kebijakan yang bisa turut menjamin keberlangsungan program JKN adalah dedikasi alokasi dana cukai rokok, di tingkat pusat, untuk pendanaan JKN. Saat ini penerimaan negara dari cukai rokok sekitar Rp140 triliun.

“Apabila 15% dari penerimaan cukai rokok ini didedikasikan untuk pendanaan JKN, maka program JKN akan mendapatkan potensi tambahan pendanaan sebesar Rp21 triliun per tahun. Dana ini akan sangat memadai untuk menutup defisit pendanaan JKN yang terus terjadi. Untuk mengakomodasi hal ini, pemerintah dan DPR harus merevisi Undang-Undang Cukai yang membatasi cukai rokok maksimal 57 persen”, tutupnya. (Des)

 

Sumber: http://theconversation.com/defisit-bpjs-kesehatan-ditutup-pajak-rokok-bisakah-berkelanjutan-94223