Abdillah Ahsan Usulkan Kenaikan Cukai Barang yang Berpotensi Ganggu Kesehatan dan Rusak Lingkungan

Abdillah Ahsan Usulkan Kenaikan Cukai Barang yang Berpotensi Ganggu Kesehatan dan Rusak Lingkungan

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Dalam mengatasi defisit BPJS Kesehatan, Pemerintah Indonesia mengambil dua langkah kebijakan konkrit. Pertama, penyesuaian tarif iuran peserta BPJS Kesehatan dengan perhitungan aktuaria. Kedua, menaikkan harga cukai rokok sekaligus melakukan ekstensifikasi cukai atau disebutnya sebagai pajak kesehatan.

Ekstensifikasi cukai bisa menghasilkan tambahan penerimaan negara Rp77,8 triliun. Indonesia pada saat ini merupakan salah satu negara yang menerapkan cukai rokok lebih rendah dibandingkan beberapa negara tetangga. Cukai rokok kita saat ini rata-rata berkisar antara 45% sampai 55%. Bandingkan dengan Singapura yang menerapkan cukai rokok sekitar 70% dan Thailand yang mencapai 80%.

“Apabila harga rokok relatif terjangkau di Indonesia, maka prevalensi merokok pada anak usia 15 tahun – 19 tahun terus meningkat. Untuk menekan jumlah perokok, cukai harus dinaikkan hingga 70% – 80%. Kenaikan cukai ini juga akan membuat penerimaan negara bertambah dan bisa digunakan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan serta melakukan promosi kesehatan,” ungkap Abdillah Ahsan dalam tulisannya di Suara Pembaruan, Jumat (28/9/2018).

Selain itu, pemerintah harus merevisi UU No. 39/2007 tentang Perubahan atas UU No. 11/1995 mengenai cukai. Dalam UU tersebut diatur bahwa barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai tarif cukai paling tinggi 57% dari harga jual eceran, sementara untuk dua barang kena cukai lainnya, yakni etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol dikenai cukai paling tinggi 80%.

Tak hanya itu, sejumlah barang yang berpotensi mengganggu kesehatan dan merusak lingkungan dikenai cukai/pajak tambahan. “Ada 10 barang yang saya usulkan kepada pemerintah untuk dikenai pajak tambahan, di antaranya Bahan Bakar Minyak (BBM), minuman berpemanis, puntung rokok, motor, mobil, minyak goring, makanan mengandung garam tinggi (junk food), kertas, telepon genggam, dan kantong plastik,” jelas Abdillah Ahsan.

Potensi tambahan pendapatan dari pajak tambahan tersebut mencapai Rp77,8 triliun. Dengan tambahan sebesar itu, penerimaan cukai setiap tahun bisa mencapai Rp220 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah wajib mematok alokasi untuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebesar 10% dan untuk promosi kesehatan 5%.

“Saya mengusulkan 15% dari penerimaan cukai untuk bidang kesehatan. Jangan sampai ada pandangan negatif bahwa para perokok itu berjasa, karena cukai rokok digunakan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Cukai yang tinggi harus dipandang sebagai denda kepada perokok yang telah merusak kesehatan masyarakat dan diharapkan mengubah perilaku mereka menjadi lebih sehat dengan tidak membeli rokok,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Suara Pembaruan. Edisi Jumat, 28 September 2018. Kolom Utama Hal.3