Muhammad Chatib Basri Membahas Kewaspadaan Terhadap Perekonomian Indonesia

Muhammad Chatib Basri Membahas Kewaspadaan Terhadap Perekonomian Indonesia

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini berada dalam tekanan. Padahal Indonesia selalu dicintai investor, kali ini situasinya berbeda. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu saat ini perekonomian dunia sedang bergerak menuju kondisi “normal baru” (new normal).

Krisis keuangan global 2008-2009 telah memaksa Bank Sentral AS (The Fed) melakukan quantitative easing (QE) dengan memompa likuiditas. Akibatnya tingkat bunga di AS mencapai tingkat terendah (0,25 persen). Bunga rendah ini memicu arus modal masuk ke emerging markets (EM), termasuk Indonesia.

Investor mengejar imbal di EM relatif tinggi. Namun, ini hanya bersifat sementara. Ketika perekonomian AS membaik, The Fed mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter. Tingkat bunga diperkirakan kembali ke pra-QE, mungkin ke kisaran 3-3,5 persen (saat ini 2 persen).

Selain itu, terjadi arus modal keluar, terutama di negara dengan defisit transaksi berjalan besar, yang dibiayai oleh investasi portofolio. Dalam rezim devisa bebas seperti Indonesia, pilihan Bank Indonesia (BI) terbatas: membiarkan rupiah melemah, menaikkan bunga atau kombinasi keduanya. BI memutuskan menaikkan bunga 100 basis poin (bps) dan juga menerima nilai tukar yang lebih lemah.

”Saya ingin mengingatkan, proses normalisasi di AS ini belum berakhir. Tahun ini The Fed mungkin akan menaikkan bunga dua kali lagi, lalu tiga kali lagi pada 2019. Selain itu ancaman perang dagang antara AS dan China juga akan memperburuk situasi. Prospek ekspor Indonesia bisa terganggu, apalagi dengan pelemahan renminbi. Pendeknya, ke depan, kita masih akan menghadapi tekanan dan fluktuasi rupiah, juga kenaikan bunga,” tutur Muhammad Chatib Basri dalam rilis tulisannya pada Kompas.id, Rabu (15/8/2018).

Dampaknya akan terlihat pada akhir 2018 dan 2019. Selain itu, tekanan inflasi akan mulai meningkat di akhir tahun akibat kenaikan harga barang yang diimpor. Dalam konteks ini, pengusaha harus memilih antara membebankan kenaikan harga ke konsumen atau menahan harga.

Untuk mengantisipasinya dengan cara memperbaiki defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan yang tak terlalu berlebihan sebenarnya tak membahayakan asalkan dibiayai oleh investasi asing langsung (PMA) di sektor ekspor, terutama manufaktur, dan bukan investasi portofolio. “Pembiayaan eksternal dalam bentuk portofolio terutama jangka pendek yang menjadi penyebab volatilitas ini,” ucap dia.

Bisa dibayangkan jika defisit transaksi berjalan dan anggaran didominasi pembiayaan portofolio eksternal. Tengok Indonesia: sekitar 25 persen dari pembiayaan defisit anggaran pemerintah adalah obligasi global (global bonds, pemegangnya investor asing), sisanya 75 persen obligasi rupiah. Namun, 35-40 persen pemegang obligasi rupiah adalah investor asing.

Semua itu ada solusinya, di antaranya dengan melakukan pendalaman pasar (financial deepening) dengan mendorong lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal agar porsi pembiayaan eksternal menurun. Berikan insentif agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dan dana haji menempatkan investasinya di obligasi pemerintah dan Sukuk. Perluas obligasi ritel atau private placement (penempatan tertentu) dan terapkan reverse Tobin Tax.

Selain itu, ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia atau eksportir Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (onshore). Lebih baik eksportir atau investor Indonesia menempatkan investasi dalam mata uang asingnya onshore ketimbang menempatkan di luar negeri (offshore). Ini akan membantu menambah pasokan dollar dalam negeri.

Tentu yang utama dengan perbaiki defisit transaksi berjalan, dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing, bukan dengan menahan impor. Salah satu solusi cepat meningkatkan ekspor adalah merevisi UU Ketenagakerjaan agar sektor ekspor manufaktur padat karya kembali bergerak.

Solusi lain, defisit di neraca migas perlu dikurangi dengan menaikkan harga BBM. Subsidi BBM juga mendorong migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi. Akibatnya: impor melonjak. Kenaikan harga BBM akan mengurangi penyimpangan ini. Selain itu, kenaikan BBM dan tarif listrik juga akan mengurangi beban Pertamina dan PLN. “Selain itu, pengembangan pariwisata. Pariwisata adalah solusi jangka pendek realistis. Ia juga menciptakan lapangan kerja,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Kompas.id. Rabu, 15 Agustus 2018. Artikel Opini