Harryadin Mahardika, Seni Meregulasi Inovasi, Koran Sindo 6 April 2017

Seni Meregulasi Inovasi

Kamis, 6 April 2017 ā€“ 11.03 WIB

HARRYADIN MAHARDIKA
Kepala Program Magister Manajemen FEB Universitas Indonesia

TENTU akan banyak yang tidak setuju dengan teori saya ini, bahwa iklim inovasi di negeri ini mati karena berbagai regulasi yang kita ciptakan sendiri.

Namun, jika melihat berbagai cerita tentang anak negeri yang berinovasi, kemudian inovasinya mati, ujung pangkal kematian tersebut selalu saja ada saham regulasi di dalamnya. Artinya, ada kemungkinan teori saya benar.

Sebut saja yang terakhir, Dahlan Iskan dan Dasep Ahmadi dengan mobil listriknya atau Ricky Elson dengan kincir angin listriknya. Kedua inovasi tersebut adalah contoh yang tidak pernah kita perjuangkan sungguh-sungguh. Kita biarkan mati dilindas oleh regulasi yang kita buat begitu ketat tanpa pandang bulu, dan itu pun kadang masih ditambah dengan permainan kepentingan.

Lalu, ketika inovasi-inovasi itu mati, tak lama kemudian bangsa ini kembali mengutuk dirinya sendiri. Kita mempertanyakan ke mana para ilmuwan dan intelektual, kok kerja tidak ada hasilnya.

Mendengar kritikan dari bangsanya, ilmuwan berkuping tipis langsung giat kembali bekerja menciptakan inovasi baru, hanya untuk kemudian dimatikan oleh regulasi sekali lagi. Siklus yang paradoksal ini terjadi berulang kali, dan bangsa ini tidak juga kunjung belajar.

Seleksi Inovasi

Namun, sebenarnya ada pengecualian yang dilakukan bangsa ini, saya menyebutnya ā€seleksi inovasiā€. Jika kita jeli, sejak puluhan tahun lalu kita bisa melihat banyak inovasi yang ā€lolosā€ dari ketatnya regulasi dan kemudian tumbuh menjadi bisnis besar yang menguntungkan.

Sebut saja kartu ponsel prabayar, inovasi dari luar yang diadopsi operator seluler nasional, dan digunakan oleh jutaan orang hingga saat ini. Kartu prabayar ā€lolosā€ dari perangkap regulasi karena adanya dukungan dari regulator dan industri. Padahal, bisa saja inovasi kartu prabayar tidak diloloskan dari regulasi, seperti yang terjadi di beberapa negara lain.

Artinya bangsa ini sadar maupun tidak, telah melakukan seleksi atas inovasi. Kartu prabayar lolos, mobil listrik tidak lolos. Begitu pula benih transgenik lolos, tapi benih inovasi petani yang tidak bersertifikasi tidak lolos.

Sehingga secara umum, saya bisa menyimpulkan kriteria inovasi yang ā€lolos seleksiā€ di negeri ini adalah yang: (1) punya potensi pasar besar, (2) di belakangnya ada modal yang kuat, dan (3) tidak mengusik status quo.

Kerangka ini bisa kita gunakan untuk membaca arah regulasi transportasi onlineĀ  yang sedang ramai dibahas beberapa minggu terakhir. Transportasi online adalah inovasi yang memenuhi dua kriteria pertama untuk ā€lolos seleksiā€, yakni punya potensi pasar besar dan di belakangnya ada modal yang begitu kuat menopang.

Hanya kriteria terakhir yang tidak terpenuhi, di mana transportasi onlineĀ  nyata-nyata menjadi ancaman bagi status quo, yaitu para pemain lama di industri transportasi maupun mereka yang memiliki kepentingan di sektor ini.

Lalu, bagaimana arah permainannya akan menuju? Saya meyakini transportasi onlineĀ  akan ā€diloloskanā€ sebagai inovasi. Ceritanya akan indah sebagaimana indahnya akhir cerita inovasi kartu prabayar atau benih transgenik di negeri ini. Potensi pasar yang besar dan dukungan modal yang kuat pada akhirnya bisa menemukan jalan untuk menjinakkan status quo.

Dengan dugaan bahwa ā€game ā€-nya akan berakhir seperti itu maka saya ingin meminta kita semua memastikan regulasi terhadap inovasi transportasi online ini dibuat seadil mungkin bagi seluruh pemangku kepentingan. Terutama pemangku kepentingan yang rentan terzalimi dan tereksploitasi, yaitu pengemudi dan penumpang.

Meregulasi Transportasi Online

Banyak catatan tentang ā€kecerdikanā€ perusahaan transportasi online dalam mengakali regulator di seluruh dunia. Mereka datang ke marketĀ  baru secara senyap, kadang tidak terdeteksi, sampai kemudian tiba-tiba sudah diadopsi oleh puluhan ribu pengguna dan telah memiliki ratusan mitra pengemudi.

Barulah kemudian regulator dan pemain konvensional di negara tersebut terkaget-kaget dan meminta transportasi onlineĀ  duduk dalam meja perundingan.

Namun, ketika perundingan itu terjadi, posisi tawar transportasi onlineĀ  sudah kuat. Mereka sudah dicintai penggunanya dan juga menjadi tempat bergantung para pengemudi (mitra). Mau tidak mau regulator terpaksa harus berhati-hati agar tidak menimbulkan antipati segmen masyarakat yang sudah jatuh cinta dengan konsep transportasi baru ini.

Secara khusus, yang dilakukan pemerintah adalah merevisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016. Revisi tersebut mencakup 11 tambahan regulasi yang diusulkan untuk meregulasi transportasi online.

Di sinilah perlu kita mengerti pentingnya seni meregulasi inovasi. Jangan sampai inovasi menjadi mati karena regulasi yang terlalu ketat, tapi juga jangan dibiarkan begitu saja tanpa regulasi karena menzalimi stakeholder yang lemah.

Berikut ini evaluasi saya terhadap 11 pasal revisi tersebut, manakah poin yang perlu dipertahankan dan poin yang harus dihilangkan:

Poin pertama adalah mengenai tanda nomor kendaraan bermotor khusus, STNK harus berbadan hukum, dan pengujian KIR berkala. Saya melihat aturan ini tidak diperlukan karena akan menghalangi masyarakat kelas menengah bawah yang ingin menjadi mitra transportasi online.

Perlu diingat bahwa pengemudi transportasi online sering kali hanya menyewa kendaraan untuk dioperasikan. Akses mereka ke sewa kendaraan yang murah akan hilang jika aturan ini diberlakukan.

Poin kedua tentang kapasitas silinder mesin kendaraan harus 1.000-1.300 cc cukup menarik. Perusahaan transportasi onlineĀ  membagi layanannya menjadi dua, mobil kecil dan mobil premium (misal UberX dan Uber Black).

Dengan aturan ini, pemerintah akan mematikan layanan mobil premium dengan cc besar, yang saat ini menyumbangkan sekitar 15% pendapatan transportasi online.

Pertanyaannya, apakah memang pemerintah ingin mendorong transportasi online masuk ke segmen pengguna menengah ke bawah? Kenapa tidak justru didorong agar transportasi online memperbesar layanannya di segmen menengah atas?

Poin ketiga tentang penetapan batas tarif atas maupun bawah serta pajak. Dalam hal ini pemerintah perlu melihat apakah tarif yang ditentukan bisa menjaga koridor pergerakan harga yang dilakukan oleh transportasi online melalui fitur dynamic pricing sehingga tetap mampu melindungi konsumen dari ketidakpastian harga.

Demikian juga sudah selayaknya aturan pajak masuk dan diikuti oleh transportasi onlineĀ  untuk menjamin keadilan sosial.

Poin keempat mengenai jumlah kuota transportasi online,Ā  menurut saya, punya urgensi untuk segera diterapkan. Ini mengingat pertumbuhan mitra pengemudi transportasi online, baik roda empat maupun roda dua, sedemikian cepat.

Sementara pada saat yang sama, kita punya tanggung jawab kepada perusahaan dan pengemudi transportasi konvensional untuk memiliki waktu beradaptasi. Ini juga untuk mencegah konflik antarpengemudi pada masa depan.

Poin kelima mengenai perlunya pool dan bengkel, yang menurut saya kurang relevan untuk diterapkan. Mitra pengemudi transportasi online tidak menggunakan kendaraan mereka hanya untuk mencari nafkah. Namun juga menggunakan kendaraan pribadi tersebut untuk kegiatan sehari-hari.

Adanya pool atau bengkel bersama tidak memberikan value bagi stakeholder mana pun pada konteks ini.

Poin keenam, sekaligus yang paling penting, adalah dibukanya akses ke dashboard aplikasi. Inilah sebenarnya hal yang paling penting untuk dilakukan pemerintah.

Dengan memiliki konektivitas ini, pemerintah dapat memantau complianceĀ  dari perusahaan transportasi onlineĀ  terhadap aturan yang dibuat. Tidak hanya itu, pemerintah perlu memberi tambahan manfaat dengan mengajak penyedia transportasi massal untuk juga sharingĀ  data. Sehingga nantinya aplikasi tersebut akan menjadi sumber informasi yang akurat dan terpercaya.

Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu menekan perusahaan transportasi onlineĀ  untuk membuka dashboardĀ  mereka?

Saya berpesan agar pemerintah menjaga keseimbangan antara meregulasi inovasi dan mendorong inovasi. Jika aturan terlalu ketat, maka inovasi bisa mandek. Namun, juga tidak diatur sama sekali, akan tercipta ketidakadilan. Poin-poin yang membatasi inovasi dan kurang ada manfaatnya bagi pengemudi dan pengguna, silakan dibuang.

Satu hal lagi, kita perlu membuat roadmapĀ  deregulasi sektor transportasi. Sepertinya sudah agak lama sektor transportasi ini berjalan tanpa kejelasan dalam merespons berbagai perkembangan teknologi transportasi.

Di luar diskusi tentang transportasi online, kita juga perlu mendorong dilakukannya deregulasi untuk transportasi konvensional. Mari kita hapus regulasi yang kurang produktif sehingga transportasi konvensional pun bisa tumbuh dan tidak dibebani berbagai biaya untuk mematuhi regulasi.

koransindo/sp